Rabu, 18 Januari 2012

Teduh Bumiku, Asa Hatiku


Tulisan ini berhasil menjadi esai terbaik Unhas Book Fair 2008

Kesempitan hidup semakin melilit. Kolong jembatan dipenuhi sesak warga tuna wisma. Walupun dikabarkan angka kemiskinan menurun, namun faktanya tak sulit menemukan gelandangan yang berkeliaran dan pengemis yang menegadahkan tangannya sekedar mengharap sekeping uang logam dari sang dermawan.
Apakah hanya sebatas wabah kemiskinan yang menyesakkan hati kita? Ternyata tidak. Ada isu global yang lebih memiriskan hati, karena tidak hanya mengancam kelangsungan hidup penghuni kolong jembatan, namun seluruh penghuni kolong langit, siapa pun dia. Mulai dari bayi kecil mungil yang hanya mampu merasakan panasnya dunia, sampai orang tua renta yang semakin gerah dengan tempertatur bumi yang terus naik, mereka semua terancam dengan fenomena bertajuk Global Warming (pemanasan global).
Wajar saja jika global warming telah menjadi kekhawatiran dan ketakutan global yang merembes ke seluruh pelosok dunia mulai dari negara maju bahkan sampai negara yang tergolong miskin dan tertinggal. Karena sebagian ahli dengan bukti-bukti ilmiah mampu meyakinkan masyarakat bahwa global warming lambat laun akan menghancurkan dunia dan diramalkan menjadi akhir keberlanjutan hidup bumi. Menariknya, isu global warming bukanlah isu yang baru mencuat namun isu lama yang terus menghangat seiring semakin menghangatnya bumi.
Sebenarnya menghangatnya bumi adalah fenomena yang wajar dan alamiah. Karena jika bumi tidak menghangat maka bisa dipastikan bumi akan membeku seperti pada masa ice age. Namun yang mebuat penghuni kolong langit ini khawatir adalah pemanasan bumi yang awalnya adalah merupakan peristiwa alamiah saat ini telah berubah menjadi pemanasan yang abnormal. Sehingga terjadi anomali kenaikan temperatur bumi yang sangat mengkhawatirkan.
Hasil temuan sebuah lembaga panel internasional, Intergovermental Panel and Climate Change (IPCC) yang beranggotakan lebih dari 100 negara di seluruh dunia, menyatakan bahwa pada tahun 2005 terjadi peningkatan suhu di dunia 0,6-0,70 derajat, bahkan dia Asia sampai mencapai 1,0 derat. Walaupun kenaikannya terkesan tidak terlalu signifikan, ternyata telah mampu membuat ketersediaan air di negeri-negeri tropis berkurang 10 hingga 30 persen.
Jika negeri tropis berkurang cadangan airnya, lain halnya dengan Benua Afrika. Disana justru diramalkan permukaan air laut akan naik 4 sampai 6 meter akibat  melelehnya Gleser (gunung es) di Himalaya dan Kutub Selatan. Bahkan jika meleh seluruhnya, mampu meningkatkan permukaan air laut sekitar 7 meter pada tahun 2012. Bahkan 30 tahun ke depan akan menyebabkan tenggelamnya sebagian pesisir pantai dan akan menyebabkan kegagalan panen dimana-mana yang berujung pada kelangkaan pangan. Bukan tidak mungkin, busung lapar menjadi penyakit yang menjangkiti mayoritas penduduk dunia. Dengan terus meningginya permukaan laut akan banyak pulau yang hilang terendam air dan begitu pula kawasan tepi laut pun terendam. Jika ini terjadi, pulau-pulau kecil di Nusantara dan kehidupan budaya pesisir hanya akan menjadi romantsime sejarah masa lalu.
Selain itu, pemanasan global juga menyebabkan adanya ketidakteraturan sirkulasi Iklim. Mungkin dulu kita bisa meramalakan kapan saja musim hujan dan kemarau. musim kemarau misalnya terjadi antara bulan April hingga Oktober, dan musin penghujan dari Oktober hingga April. Namun saat ini akibat pengaruh pemanasan global, sirkulasi iklim menjadi terganggu. Jika kita teliti mengamati,sering terjadi musim panas yang berkepanjangan, curah hujan yang terlalu deras, gelombang laut yang tinggi, sampai naiknya permukaan air laut. Hujan lebat masih turun disertai angin kencang hingga Juni, akhirnya muncul istilah “kemarau basah”, istilah yang terkesan lucu.
Fenomena global warming ternyata mampu menimbulkan efek domino yang juga mempengaruhi sektor kesehatan. Akibat terus meningkatnya suhu, banyak wabah penyakit endemik lama dan baru yang bermunculan. Misalnya leptopirosis, demam berdarah, diare, malaria. Seharusnya penyakit-penyakit tersebut telah lewat dan mampu ditangani, namun ternyata banyak masyarakat yang terinfeksi bahkan ada yang sampai harus meregang nyawa.
Bukan hanya sektor lingkungan dan kesehatan yang terpengaruh, namun global warming juga dapat mempengaruhi kestabilan politik antar negara tetangga. Jika air laut naik, maka daratan akan tenggelam. Jika daratan yang hilang tersebut adalah daratan yang dijadikan sebagai acuan batas negara, maka akan menyebabkan persengketaan akibat batas negaranya hilang. Untuk negara kepulauan seperti Indonesia dengan batas laut yang kritis dengan beberapa negara, hilangnya sebuah pulau terluar bisa berakibat ribuan kilometer persegi wilayah kedaulatan laut baik itu laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif atau Landas Kontinen dapat tiba-tiba hilang.
Secara umum dampak yang dirasakan oleh seluruh dunia saat ini adalah makin panjangnya musim panas dan makin pendeknya musim hujan, selain itu makin maraknya badai dan banjir di kota-kota besar (el Nino) di seluruh dunia. Serta meningkatnya cuaca secara ekstrim, yang tentunya sangat dirasakan di negara-negara tropis. Jika ini kita kaitkan dengan wilayah Indonesia tentu sangat terasa, begitu juga dengan kota-kota yang dulunya dikenal sejuk dan dingin makin hari makin panas saja.
Merujuk pada logika kausalitas (sebab-akibat), ternjadinya fenomena global warming tentu memiliki faktor pemicu dan tidak mungkin terjadi dengan sendirinya. Menurut laporan beberapa ahli, bumi kita ini telah mengalami kerusakan yang begitu parah dan menuju pada akhir sejarah. Ancaman yang sedahsyat ini tidak mungkin terjadi secara kebetulan, namun memiliki rentetan panjang kronologis kejadian, yang harus diurai dan dirumuskan formula jitu untuk menyelesaikan permasalahan global warming yang semakin mengancam.
Salah satu penyebabnya adalah berkembangnya industri yang memicu miningkatnya emisi karbon. akibat penggunaan energi fosil (bahan bakar minyak, batubara dan sejenisnya, yang tidak dapat diperbarui).
Emisi karbon ini menyebabkan terbentuknya gas rumah kaca, yang dikenal sebagai satu efek dimana molekul-molekul yang berada di atmosfer seperti memberikan efek seperti pada rumah kaca. Sebenarnya efek rumah kaca ini tak bisa dihindari, karena merupakan hal yang terjadi secara alamiah. Efek rumah kaca inilah yang menjaga agar temperatur bumi selalu tetap pada kisaran 30 derajat Celsius. Karena kalau tidak, kehidupan di dunia tidak dapat berlangsung.
Terbentuknya efek rumah kaca adalah suatu keniscayaan. Penelitian pada tahun 1820 oleh Fourier, ditemukan bahwa atmosfer sangat bisa diterobos oleh cahaya matahari. Tetapi tidak semua cahaya matahari yang dipancarkan ke permukaan bumi dapat dipantulkan seluruhnya. Radiasi infra merah misalnya, ternyata tidak bisa dipantulkan keluar, melainkan terjebak didalam atmosfer yang akhirnya mampu menghangatkan bumi.
Namun kondisi kekinian, efek rumah kaca yang sebenarnya alamiah akibat campur tangan manusia, efek ini menjadi efek yang abnormal, sehingga bukannya menjaga bumi agar tetap hangat pada temperatur normal, tapi menyebabkan bumi terus bertambah hangat melampau batas ambang normal. Jadi sebenarnya manusia adalah komponen alam yang paling bertanggung jawab terhadap kenaikan suhu  global. Karena dari aktivitas manusialah emisi karbon meningkat drastis, semenjak revolusi industri.
Global warming dengan efek rumah kacanya, harus mendapat penanganan serius. Jika tidak maka dampak yang telah terjadi akan terakumulasi dan menjadi bom waktu yang akan meledak sewaktu-waktu. Sebelum semuanya meledak dan menyebabkan penderitaan massal dikalangan umat manusia, maka usaha untuk menanggulangi pemanasan global menjadi mendesak dan harus segera dilakukan.

Solusi Praktis
Solusi penanggulangan global warming dapat dilakukan dengan menempuh dua pendekatan solusi, yaitu solusi yang bersifat praktis dan strategis. Solusi praktis yang bisa langsung dilakukan adalah :

Konsumsi Pangan Ramah Lingkungan
Pola konsumsi pangan yang paling ramah lingkungan adalah pola konsumsi vegetarian. Dan ternyata energi yang didapat jika langsung mengkonsumsi nutrisi nabati adalah tujuh kali lipat lebih tinggi dari pada jika nutrisi nabati diberikan pada ternak, kemudian kita mengkonsumsi daging ternaknya.
Masalah lain yang ditimbulkan oleh konsumsi pangan adalah limbah kemasan produk. Makanan kemasan memang praktis dan lebih awet. Namun sering digunakan kemasan yang tidak ramah lingkungan. Sehingga lingkungan semakin cepat rusak akibat banyaknya sampah kemasan makanan yang tidak dapat di uraikan.
Rusaknya ekosistem alam akibat bertebarannya sampah anorganik yang tidak dapat teruraikan, akan berdampak langsung terhadap rusaknya kualitas vegetasi. Padahal vegetasi adalah salah satu penyumbang oksigen terbesar yang akan mampu mengurangi efek rumah kaca dan menurunkan resiko terjadinya global warming.


Pemanfaatan Energi Ramah Lingkungan
Energi paling ramah lingkungan adalah energi matahari. Dan sebenarnya banyak aktitvitas manusia yang masih bisa memanfaatkan energi matahari. Misalnya untuk mengeringkan pakaian, cukup dengan menggunakan energi matahari, tak perlu menggunakan mesin pengering yang menghabiskan energi lebih banyak. Atau untuk menghangatkan air, cukup dengan menjemurnya diterik matahari. Kalaupun diinginkan dalam jumlah besar dengan tingkat panas yang lebih tinggi, bisa menggunakan solar-collector lengkap dengan tankinya. Teknologinya sederhana dan murah, namun dapat menghemat listrik dan gas, terutama untuk usaha perhotelan.
Contoh yang lain misalnya dengan mensiasati penggunaan AC (Air Conditioner), yang pada beberapa produk tidak ramah lingkungan karena menghasilkan gas CFC yang merusak ozon. Langkah praktis yang bisa ditempuh, misalnya dengan mendesain gedung-gedung dengan ventilasi yang baik sehingga mampu menghemat penerangan dan pendingin udara. Di Indonesia misalnya gaya berpakaian pada acara-acara resmi adalah menggunakan jas dan dasi, lantas agar tidak kegerahan AC diatur ke suhu yang sangat dingin. Maka semakin banyaklah gas CFC yang dihasilkan dan semakin rusaklah kondisi udara. Usaha untuk mengatasi global warming akan semakin sulit.
Kita harus mencontoh orang di Thailand dan Filipina yang mengatur seragam dinas pegawainya dengan baju kaos berkerah. Atau orang Jepang dan Jerman yang sudah mengembangkan eco-house yang mampu membuat rumah ramah lingkungan. Dinding luar berselimut tanaman rambat, atap berlapis solar panel, aliran air pemanas ruangan dapat dipakai mandi. Septic-tank yang menghasilkan gas methan dapat digunakan menambah energi untuk dapur.

Transportasi Ramah Lingkungan
Salah satu penyumbang emisi karbondioksida terbesar adalah gas buangan kendaraan bermotor. Jika menggunakan alat transportasi yang lebih ramah lingkungan maka dampak efek rumah kaca dapat diatasi atau minimal dikurangi.
Alat transportasi yang paling ramah lingkungan adalah sepeda. Jika ingin alat yang lebih canggih, saat ini telah dikembangkan sepeda dengan sumber energi berasal dari solar panel untuk menyerap energi matahari dan konon dapat menempuh jarak ribuan kilometer. Kalaupun harus membawa beban yang lebih banyak, becak dan pedati dapat menjadi pilihan bijak. Atau jika bawaan dalam jumlah banyak dan jarak yang relatif jauh, silakan memilih kereta api listrik.
Di laut juga dapat dikembangkan kapal yang ramah lingkungan dengan emisi karbon yang sangat kecil. Kapal ramah lingkungan saat ini telah banyak yang menggunkan layar mekanis. Layar ini dapat dikembangkan secara otomatis jika kecepatan angin menguntungkan. Penggunaan angin dapat menghemat bahan bakar sampai 50 %. Artinya emisi karbon pun berkurang.

Efektifitas Sarana Komunikasi dan Informasi
Kehidupan manusia dari waktu ke waktu semakin dinamis, sehingga menuntut tingkat mobilisasi yang tinggi. Agar mobilitas manusia semakin efektif dan efesien, maka diperlukan moda transportasi. Baik itu sarana transportasi milik pribadi atau umum. Hal ini tentu bedampak meningkatnya gas karbon yang semakin menebalkan lapisan rumah kaca. Walhasil hawa bumi akan semakin panas.
Jika sarana komunikasi diefektifkan maka mobilitas manusia mampu ditekan, pengembangan teknologi komunikasi akan mengurangi kebutuhan transportasi. Selain itu media elektronik adalah media yang sangat ramah lingkungan. Informasi tidak lagi disebarkan melalui kertas sehingga mengurangi jumlah pohon yang harus ditebang. Bila di Indonesia penerbit berlomba-lomba menggunakan kertas putih untuk mencetak buku agar terkesan lux, diluar negeri justru dikembangkan kertas daur ulang. Konon untuk mencetak novel Harry Potter 7, sampai dikembangkan 32 jenis kertas daur ulang. Penerbit di Kanada menggunakan 100 % kertas daur ulang. Upaya ini ternyata telah membuat edisi bahasa Inggris novel ini menghemat penebangan 200 ribu pohon dan 8 juta gas rumah kaca.

Solusi Strategis
Selain menggagas solusi yang sifatnya praktis, kita pun harus merumuskan solusi yang sifatnya strategis. Karena pengopinian isu global warming tidak semata-mata bermuatan tujuan luhur penyelamatan lingkungan. Namun ada unsure kepentingan politik dan bisnis dibalik isu tersebut. Jadi permasalah global warming tidak akan pernah terselesaikan secara tuntas jika kita hanya menggunakan solusi teknis/praktis untuk menyelesaikannya. Karena solusi praktis lebih pada solusi yang sifatnya tambal sulam dan parsial. Oleh karena itu harus didukung dengan solusi strategis yang sifatnya menyelesaikan masalah secara fundamental.
Adanya kepentingan politik terlihat pada pertemuan tingkat tinggi yang diadakan oleh United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Tujuan pertemuan ini adalah untuk mengevaluasi protokol Kyoto yang telah disepakati pada tahun 1997. Protokol Kyoto adalah kesepakatan yang telah dinegosiasikan di Kyoto yang merupakan persetujuan sah dimana negara-negara perindustrian akan mengurangi emisi karbondioksida dan gas-gas rumah kaca lainnya.
Namun Amerika Serikat (AS), sebagai negara industri terbesar dunia sekaligus salah satu negara penyumbang gas rumah kaca terbesar dunia, telah menolak menandatangani protokol tersebut. Hal ini wajar terjadi karena sebagai negara pengusung kapitalisme terkuat di dunia, AS akan melakukan apapun untuk membela kepentingan ekonominya, walaupun tindakan tersebut akan mendapatkan kecaman dari masyarakat dunia. Dalam pandangan kapitalisme, tindakan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dari eksploitasi sumberdaya alam jauh lebih penting walaupun harus mengorbankan kepentingan orang lain. Inilah paradigma mendasar ideologi kapitalisme.
Riset telah membuktikan bahwa negara industri seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, Itali, Rusia, Jepang dan Kanada merupakan negara-negara penghasil gas rumah kaca terbesar, sehingga merupakan negara yang paling bertanggung jawab terhadap tragedi global warming. Untuk mengalihkan citra negatif ini yang terlanjur melekat pada negara-negara tersebut, mereka menuduh negara-negara berkembang yang memiliki hutan luas, seperti Indonesia dan Brasil harus ikut bertanggung jawab terhadap terjadinya global warming akibat praktek penebangan hutan di negaranya. Namun ternyata penebangan hutan besar-besaran adalah untuk diimpor atas pesanan negara industri.
Bagaimanapun negara industri tersebut membutuhkan bahan mentah, sementara negara mereka tergolong negara yang tidak memiliki kekayaan alam. Di Eropa hampir 80% hutannya telah rusak, karena hujan asam akibat aktivitas industri. Sebanyak 20 persen penduduk terkaya dunia bertanggung jawab terhadap lebih dari 60 bahkan sampai 80 persen emisi gas saat ini. Rata-rata emisi orang Amerika Serikat sebanding dengan 9 orang Cina dan 18 orang India dan tingkat penggunaan bahan bakar fosil 8 kali lipat penduduk di negara berkembang.
Inilah bukti kentalnya konspirasi politik negara industri untuk “mengkambinghitamkan” negara berkembang sebagai negara yang peling bertanggung jawab terhadap fenomena global warming. Padahal sejatinya negara industrilah penyumbang gas emisi terbesar dunia.
Selain itu motif ekonomi pun sangat terasa dibalik isu global warming. Sebenarnya sudah banyak negara berkembang yang bisa menjadi negara yang ramah lingkungan, tanpa harus menunggu adanya transfer teknologi dari negara maju (industri). Karena umumnya transfer teknologi dari negara maju disertai dengan beberapa syarat politis dan ekonomi yang berbau imperialisme gaya baru. Teknologi yang telah ditemukan kemudian dipatenkan dan hak patennya dijual dengan harga yang tak terjangkau oleh negara berkembang. Akhirnya negara berkembang terus menjadi sasaran fitnah negara-negara industri sebagai negara yang tidak ramah lingkungan.
Oleh karena itu langkah strategis dari negara dunia ketiga (negara berkembang) adalah berusaha untuk bersatu dan merumuskan konsep politik alternatif dan meninggalkan konsep politik dan ekonomi yang berlaku sekarang, karena telah terbukti tidak mampu mensejahterakan justru malah membuat negara berkembang semakin menderita.
Sebenarnya sangat mudah jika negara berkembang, termasuk Indonesia, mau bersatu dan melakukan perlawanan terhadap sistem perpolitikan dan ekonomi yang sangat tidak adil saat ini. Nadi kehidupan dunia sebenarnya dipegang oleh negara berkembang, karena sebagian besar kekayaan alam dunia terdapat di perut bumi negara-negara berkembang bukan negara industri. Yang diperlukan saat ini adalah nyali dari pemerintah negara berkembang untuk melakukan sedikit perlawanan dan berani memberontak melepaskan diri dari belenggu neo-kolonialisme yang sementara menghegemoni dunia.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More