Rabu, 18 Januari 2012

Meradam Amarah Alam



Tulisan ini pernah diikutkan dalam lomba menulis artikel yang diadakan oleh "Rumah Kosong 124, tapi masih tertunda kemenangannya"

Alam bersabda, “Ini gunung emas, keruklah. Itu bukit batubara, tambanglah. Disana ada kolam minyak, timbalah. Tetapi jangan lupa bersyukur. Atau Amarahku akan mengguncangmu…”

Mari berimajinasilah sejenak. Rasakan kita hidup di negeri kaya nan makmur. Tak periu bertanya apalagi risau dengan urusan sandang, pangan dan papan, semuanya telah tuntas terpenuhi. Pendidikannya berkualitas, lagi gratis. Layanan kesehatan tak perlu bayar. Pengangguran diberikan kesempatan kerja sebesar-besarnya. Bahkan dianggap tindakan kriminal jika lelaki dewasa tak mau bekerja. Mereka yang renta tak punya kuasa, disantuni negara. Seperti yang dikabarkan dalam UUD Pasal 34 ayat (1), “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.” Alamnya permai, indah lagi sejuk. Guyuran air hujan adalah rahmat. Bukan petaka yang membuat hati was-was, akan datangnya banjir bandang. Indah sekali potret negeri itu. Seperti di negeri dongeng saja. Siapapun pasti rindu untuk hidup di dalamnya.
Sebenarnya negeri imajinasi di atas tidak hanya menjadi dongeng belaka. Bisa berlaku di Indonesia. Andai saja negeri ini mampu memanfaatkan kekayaan alamnya dengan baik. Sembari mengembalikan hak asasi lingkungan. Jangan salah, bukan sekedar manusia yang punya hak asasi. Lingkungan pun ada haknya. Manusia akan marah jika haknya tidak tertunaikan. Begitupun lingkungan. Jika tak terberikan haknya, tunggulah, ada gertakan alam yang siap menghadang. Dan jika alam yang sudah marah, manusia sekuat apapun tidak kuasa membendungnya.
Alam akan menggertak dengan keengganannya menghalau deburan ombak. Bila sudah begitu bibir pantai pun mengalami erosi.  Sekarang saja ada 400 km pantai di Indonesia mengalami erosi. Meyebabkan dataran semakin sempit. Serta beragam flora dan fauna pinggir pantai musnah, hanya tinggal sejarah. Hati-hati pula jika alam menunjukkan keengganannya menyerap limpasan air hujan. Lantaran tangan-tangan jahil telah membabat hutan hijau secara membabi buta. Alam akan menggertak dengan guyuran banjir bandang. Juga dengan gemuruh tanah longsor. Melumat semua yang ada, walaupun ia tak punya dosa.
Inilah kemarahan alam yang tak bisa terbendung. Alam telah menunaikan kewajibannya. Memasrahkan diri untuk dimanfaatkan manusia. Tengoklah potensi pertambangan Indonesia. Kita punya gunung emas, kolam minyak, serta bukit batubara. Ayo kita bertamasya ke gunung emas Gresberg di Papua. Alam telah mempersilakan untuk dimanfaatkan. Tentunya demi kesejahteraan anak negeri. Sayang, semua diberikan kepada PT Freeport. Perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) yang awalnya hampir bangkrut. Namun berjaya setelah menemukan dan merampok gunung emas Gresberg.  Indoensia hanya mendapatkan jatah 9,4 % saja. Itu pun negara sangat tidak berdaya menuntut kenaikan royalty walau hanya 1 %. Padahal siapa sebenarnya pemilik gunung emas itu? AS kah atau Indonesia?
 Diprediksi produksi emas di Freeport bisa mencapai 200 kg per hari. Jangan tanya tentang keuntungan yang diperoleh Freeport. Sejak hadirnya di Papua sudah 7,3 juta ton tembaga dan 725 juta ton emas disedot. Bahkan ditaksir keuntung Freeport dalam setahun mencapai 8.000 trilun rupiah. Bandingkan dengan APBN Indonesia yang hanya sekitar 1.200 triliun rupiah. Artinya Freeport tujuh kali lebih kaya dari Indonesia. Jadi dari potensi Freeport saja, sudah bisa menghidupi Indonesia selama tujuh tahun ke depan.
Ini baru nikmat alam dari Freeport. Belum kita menghitung keikhlasan alam memberikan kandungan kekayaannya di Blok Cepu. Ada 781 juta barel minyak. Produksinya bisa mencapai 165 ribu barel per hari. Di Nusa Tenggara juga ada emas. Sekitar 11,9 juta ons jumlahnya. Ini baru berbicara tentang kekayaan alam di bidang tambang. Belum menyentuh kekayaan hutan yang jumlahnya juga fantastis. Keanekaragaman hayati yang dikandungnya adalah tertinggi di dunia. Hampir 11 % spesies tumbuhan yang hidup di muka bumi, ada di hutan Indonesia. Apalagi jika ditambah kemurahan alam untuk memberikan kekayaan yang terkandung di dalamnya samudera. Beragam hasil laut ekonomis, silakan diambil.
Tapi apa yang didapat oleh lingkungan? Ia dijarah dan ditinggalkan begitu saja. Gunung berubah menjadi danau. Lautan limbah pasir menghampar begitu luasnya di Papua. Pembabatan liar terjadi di mana-mana. Dalam kurun waktu tiga tahun (1997-2000) ditemukan fakta bahwa penyusutan hutan pertahunnya mencapai 3,8 juta hektar. Luas ini sama dengan tiga juta kali luas lapangan sepak bola. Alam juga mengikhlaskan manusia menimba nikmat dari samuderanya yang dalam. Tapi tentu dengan cara-cara santun. Bukan dengan ledakan potasiun atau pukat harimau. Dari luas terumbu karang Indonesia yang mencapai 60.000 km2, kini yang berada dalam kondisi baik ada 6,2% saja. Padahal butuh puluhan bahkan ratusan tahun untuk tumbuhnya terumbu karang.
Manusia memang tak mungkin bisa hidup tanpa bergantung dari alam. Syukurlah alam selalu menyediakan kebutuhan manusia. Namun sayang, ketamakan dan egoisme manusia membuat alam tak mendapatkan hak yang semestinya. Alam ini pasti cukup jika hanya sekedar memenuhi kebutuhan manusia. Namun tak akan pernah cukup jika harus memenuhi kepuasan nafsu manusia. Walaupun didatangkan lagi bumi dan seisinya yang kedua. Manusia tak akan pernah puas.
Maka, manusia harus jujur. Menyadari kesalahannya dan menginsafi ketamakannya. Tapi manusia mana yang harus sadar dan disadarkan? Apakah saat alam nusantara menunjukkan amarahnya, manusia Indonesia saja yang harus disalahkan? Tidak, jawabnya. Karena terabaikannya hak lingkungan saat ini adalah adalah hasil dari sebuah konspirasi global. Manusia Indonesia memang salah. Namun bukan hanya mereka. Ada aktor intelektual di balik terenggutnya hak alam.

Rusaknya Alam, Konspirasi Pemilik Modal
Ada amarah alam yang lebih besar dari sekedar banjir dan tanah longsor. Bahkan lebih mengancam daripada tsunami Aceh maupun Jepang. Amarah alam itu akrab kita sebut global warming. Singkatnya global warming bisa ditafsirkan sebagai memanasnya bumi secara tidak normal.
Hasil temuan sebuah lembaga panel internasional, yang beranggotakan sekitar 100 negara, Intergovermental Panel and Climate Change (IPCC), menyatakan bahwa pada tahun 2005 terjadi peningkatan suhu bumi 0,6 – 0,7 derajat. Bahkan di Benua Asia mencapai 1 derajat. Kenaikan yang mungkin dirasa kecil ini ternyata mampu membuat ketersediaan air di daerah tropis berkurang 10% hingga 30%. Hal sebaliknya justru terjadi di Benua Afrika. Disana justru diprediksi permukaan air laut akan naik setinggi 4 sampai 6 meter, akibat global warming yang melelehkan es gletser di Himalaya dan Kutub Selatan.
Indonesia, sebagai negeri yang sering dijuluki paru-paru dunia, biasanya menjadi pihak tertuduh untuk masalah ini. Indonesia secara tegas dimita untuk menjaga agar alamnya tetap lestari. Indonesia pula yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap pemenuhan hak-hak lingkungan.
Padahal jika mau jujur, sebenarnya negara industri seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, Itali, Rusia, Jepang dan Kanada merupakan negara-negara penghasil gas rumah kaca terbesar, sehingga merupakan negara yang paling bertanggung jawab terhadap tragedi global warming. Untuk mengalihkan citra negatif ini yang terlanjur melekat pada negara-negara tersebut, mereka menuduh negara-negara berkembang yang memiliki hutan luas, seperti Indonesia dan Brasil harus ikut bertanggung jawab terhadap terjadinya global warming akibat praktek penebangan hutan di negaranya. Tidak bisa dipungkiri memang, banyak penebang liar terjadi di Indonesia. Tapi semua itu tidak dinikmati oleh bangsa sendiri. Justru hasilnya diekspor ke negara-negara industri itu.
Negara industri di Eropa jelas membutuhkan hasil hutan kita. Karena 80% hutan merekatelah rusak disebabkan hujan asam. Hasil dari polusi udara oleh pabrik industri. Jika dihitung-hitung rata-rata emisi orang Amerika Serikat sebanding dengan 9 orang Cina dan 18 orang India. Tingkat penggunaan bahan bakar fosil 8 kali lipat penduduk di negara berkembang. Kalau sudah begini, siapa sebenarnya yang paling bertanggung jawab terhadap terampasnya hak-hak lingkungan?
Inilah konspirasi yang mencoba mengkambinghitamkan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Harus diakui, kita sebagai bangsa Indonesia memang salah. Tapi ada yang jauh lebih bersalah lagi. Merekalah kaum kapital, pengusung ideologi kapitalisme yang saat ini sementara menguasai dunia.

Solusi Praktis, Kembalikan Hak Lingkungan
Terpenuhinya hak alam, jelas akan berimbas positif terhadap penghuninya. Manusia salah satunya. Sudah ada itikad baik dari pemerintah. Sebuah upaya untuk mengembalikan hak-hak lingkungan dengan mengeluarkan regulasi undang-undang No 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Upaya ini tentu akan lebih bertambah tingkat keberhasilannya, jika warga negera pun proaktif melestarikan lingkungan. Hanya perlu langkah sederhana, bahkan terkesan remeh temeh. Namun jika konsisten dilakukan, semoga mampu membawa angin segar.
Pertama, mencoba pola hidup vegetarian dan makanan alami. Ternyata energy yang didapat jika langsung mengonsumsi energy nabati adalah tujuh kali lipat daripada jika nutrisi nabati itu diberikan kepada ternak dan kita mengonsumsi daging ternaknya. Pola hidup yang lebih senang mengonsumsi makanan alami dan meninggalkan makanan kemasan, akan sangat membantu. Makanan kemasan memang lebih praktis dan awet. Tetapi plastik yang digunakan sebagai bahan pembungkus sering tidak ramah lingkungan. Sehingga lingkungan akan semakin menjerit, karena banyak berserakan limbah plastik yang sukar diuraikan.
Kedua, menggunakan energy ramah lingkungan. Contohnya dengan memanfaatkan tenaga matahari. Untuk mengeringkan baju misalnya. Gunakanlah tenaga matahari, tak perlu menggunakan mesin pengering. Ini tentu akan menghemat energy. Atau bisa dengan menyiasati penggunaan AC (Air Conditioner). Pada beberapa produk AC, ada yang merenggut hak lingkungan. Sebab mengeluarkan gas CFC yang akan merusak ozon. Langkah praktis yang bisa dilakukan adalah mendesain gedung-gedung dengan banyak ventilasi. Sehingga mampu menghemat penerang dan pendingin ruangan. Ikutilah orang Jepang dan Jerman yang telah mengembangkan eco-house, konsep rumah ramah lingkungan. Dinding luar berselimut tanaman rambat, atap berlapis solar panel, aliran air pemanas ruangan dapat dipakai mandi. Dan septic-tank yang menggandung gas metan bisa digunakan menambah energy untuk dapur. Hindarilah penggunaan jas, jika hanya membuat gerah. Contohilah orang Thailand dan Filipina yang mengatur baju pegawainya dengan kaos berkerah.
Ketiga, bepergiaanlah dengan alat transportasi ramah lingkungan. Salah satu penyumbang emisi karbondioksida adalah kendaraan bermotor. Asap-asap inilah yang merenggut hak lingkungan untuk tetap lestari. Gunakanlah transportasi yang teramah pada lingkungan yaitu sepeda. Jika barang bawaannya banyak, mungkin pedati atau becak bisa jadi pilihan bijak. Kalaupun jaraknya terlampau jauh, gunakanlah kereta api listrik. Begitupun di laut. Saat ini telah ada kapal ramah lingkungan yang menggunakan layar mekanis. Layar ini dapat dikembangkan secara otomatis jika kecepatan angin mengguntungkan. Cara ini dapat menghemat penggunaan bahan bakar hingga 50%.
Keempat, minimalkan penggunaan kertas. Lembar kertas putih adalah dari batang pohon asalnya. Semakin meningkat penggunaan kertas, maka semakin bayak pohon yang harus ditebang. Jika di Indonesia masih banyak penerbit menggunakan kertas putih agar terkesan lux, tidak begitu di luar negeri. Mereka menggunakan kertas daur ulang. Misalnya untuk mencetak Harry Potter 7, sampai dikembangkan 32 jenis kertas daur ulang. Di Kanada, penerbitnya menggunakan 100% kertas daur ulang. Langkah ini mampu membuat pencetakan Novel Harry Potter 200 ribu pohon dan 8 juta gas rumah kaca. Atau jika memang tidak harus dalam versi cetak, maka cukuplah buku dalam versi e-book. Kalau mengirim surat pun gunakanlah email. Lebih efektif dan efesien tentu.
Jika tidak mampu melakukan semuanya, maka pilihlah salah satu langkah. Mulailah dari diri sendiri, dari hal-hal yang kecil dan lakukan sekarang juga. Begitu petuah bijak berpesan. Namun solusi praktis tidaklah cukup. Harus diimbangi dengan solusi yang sifatnya strategis. Agar hak lingkungan mampu diraih kembali.

Solusi Strategis, Penuntas Akar Masalah
Seperti yang telah terjabarkan, bahwa ada konspirasi dibalik terenggutnya hak lingkungan untuk tetap lestari. Ada campur tangan dan ketamakan pemilik modal yang bermain. Ingin mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa pernah perduli kelestarian lingkungannya. Maka perlu langkah strategis untuk itu.
Hak lingkungan alam yang terjarah, jelas bukan masalah lingkungan semata. Tetapi ada kepentingan politik yang bermain di baliknya. Misalnya saja pertemuan tingkat tinggi yang diadakan oleh United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Pertemuan ini bertujuan untuk mengevaluasi protocol Kyoto tahun 1997. Singkatnya protokol Kyoto berisi kesepakatan bahwa negera industri akan mengurangi emisi karbondioksida.
Ada yang aneh dalam UNFCCC itu. Amerika Serikat sebagai negara industri terbesar di dunia, sekaligus negara penyumbang gas rumah kaca terbesar di dunia enggan menandatangani kesepakatan itu. Hal ini bisa dianalisis, sebagai negara pengusung kapitalisme, AS akan melakukan apa saja untuk menjaga perekonomiannya. Jadi jelas ada motif politik disini.
Ada pula kepentingan ekonomi yang menjadikan negara berkembang sebagai korbannya. Jika diamati, teknologi ramah lingkungan kebanyakan dihasilkan oleh negara barat. Negara industri yang sudah maju. Sementara negara berkembang dijadikan pasar untuk teknologi ramah lingkungan mereka. Setelah dikambinghitamkan sebagai penyebab kerusakan lingkungan, dipaksalah negara berkembang itu untuk melakukan alih teknologi. Nah alih teknologi ini tentu tidak gratis. Ada harga mahal yang harus dibayar oleh negara berkembang untuk membeli teknologi ramah lingkungan itu. Laksana orang jatuh, tertimpa tangga pula. Inilah gambaran nasib negara berkembang saat ini. Dan Indonesia tidak lepas darinya.
Oleh karena itu diperlukan langkah strategis dari negara berkembang. Khususnya Indonesia. Jangan mau terus menjadi bulan-bulanan negara industri. Beranilah untuk sedikit menggertak. Misalnya dengan berani meminta pertanggungjawaban perusahaan asing yang telah mengenggut hak-hak alam nusantara. Membuatnya porak poranda dengan beragam alat berat yang menguras kekayaan alam Indonesia. Indonesia pun harus berani melakukan peninjauan kembali terhadap kontrak karya yang sudah ada. Contohnya di Papua. Sungguh tidak masuk akal jika Freeport yang notabenenya adalah perusahaan asing mendapatkan keuntungan hingga 90%. Sementara sisanya untuk Indonesia. Indonesia adalah negara yang berdaulat. Wilayahnya dari Sabang sampai Merauke. Disinilah kedaulatan negara teruji. Apakah tunduk pada Freeport atau mampu menentukan nasibnya sendiri?
Kalau saja solusi praktis dan strategis ini dijalankan, besar harapan hak alam akan kembali. Semesta akan lestari lagi. Dan amarah sang alam pun akan terbendung. Semoga.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More