Tulisan ini pernah diikutkan dalam lomba menulis artikel yang diadakan oleh "Rumah Kosong 124, tapi masih tertunda kemenangannya"
Alam
bersabda, “Ini gunung emas, keruklah. Itu bukit batubara, tambanglah. Disana
ada kolam minyak, timbalah. Tetapi jangan lupa bersyukur. Atau Amarahku akan
mengguncangmu…”
Mari berimajinasilah
sejenak. Rasakan kita hidup di negeri kaya nan makmur. Tak periu bertanya
apalagi risau dengan urusan sandang, pangan dan papan, semuanya telah tuntas
terpenuhi. Pendidikannya berkualitas, lagi gratis. Layanan kesehatan tak perlu
bayar. Pengangguran diberikan kesempatan kerja sebesar-besarnya. Bahkan
dianggap tindakan kriminal jika lelaki dewasa tak mau bekerja. Mereka yang
renta tak punya kuasa, disantuni negara. Seperti yang dikabarkan dalam UUD
Pasal 34 ayat (1), “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.”
Alamnya permai, indah lagi sejuk. Guyuran air hujan adalah rahmat. Bukan petaka
yang membuat hati was-was, akan datangnya banjir bandang. Indah sekali potret
negeri itu. Seperti di negeri dongeng saja. Siapapun pasti rindu untuk hidup di
dalamnya.
Sebenarnya negeri
imajinasi di atas tidak hanya menjadi dongeng belaka. Bisa berlaku di
Indonesia. Andai saja negeri ini mampu memanfaatkan kekayaan alamnya dengan
baik. Sembari mengembalikan hak asasi lingkungan. Jangan salah, bukan sekedar
manusia yang punya hak asasi. Lingkungan pun ada haknya. Manusia akan marah
jika haknya tidak tertunaikan. Begitupun lingkungan. Jika tak terberikan
haknya, tunggulah, ada gertakan alam yang siap menghadang. Dan jika alam yang
sudah marah, manusia sekuat apapun tidak kuasa membendungnya.
Alam akan menggertak
dengan keengganannya menghalau deburan ombak. Bila sudah begitu bibir pantai
pun mengalami erosi. Sekarang saja ada
400 km pantai di Indonesia mengalami erosi. Meyebabkan dataran semakin sempit.
Serta beragam flora dan fauna pinggir pantai musnah, hanya tinggal sejarah.
Hati-hati pula jika alam menunjukkan keengganannya menyerap limpasan air hujan.
Lantaran tangan-tangan jahil telah membabat hutan hijau secara membabi buta.
Alam akan menggertak dengan guyuran banjir bandang. Juga dengan gemuruh tanah
longsor. Melumat semua yang ada, walaupun ia tak punya dosa.
Inilah kemarahan alam
yang tak bisa terbendung. Alam telah menunaikan kewajibannya. Memasrahkan diri
untuk dimanfaatkan manusia. Tengoklah potensi pertambangan Indonesia. Kita
punya gunung emas, kolam minyak, serta bukit batubara. Ayo kita bertamasya ke
gunung emas Gresberg di Papua. Alam telah mempersilakan untuk dimanfaatkan.
Tentunya demi kesejahteraan anak negeri. Sayang, semua diberikan kepada PT
Freeport. Perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) yang awalnya hampir
bangkrut. Namun berjaya setelah menemukan dan merampok gunung emas
Gresberg. Indoensia hanya mendapatkan
jatah 9,4 % saja. Itu pun negara sangat tidak berdaya menuntut kenaikan royalty
walau hanya 1 %. Padahal siapa sebenarnya pemilik gunung emas itu? AS kah atau
Indonesia?
Diprediksi produksi emas di Freeport bisa
mencapai 200 kg per hari. Jangan tanya tentang keuntungan yang diperoleh
Freeport. Sejak hadirnya di Papua sudah 7,3 juta ton tembaga dan 725 juta ton
emas disedot. Bahkan ditaksir keuntung Freeport dalam setahun mencapai 8.000
trilun rupiah. Bandingkan dengan APBN Indonesia yang hanya sekitar 1.200
triliun rupiah. Artinya Freeport tujuh kali lebih kaya dari Indonesia. Jadi
dari potensi Freeport saja, sudah bisa menghidupi Indonesia selama tujuh tahun
ke depan.
Ini baru nikmat alam
dari Freeport. Belum kita menghitung keikhlasan alam memberikan kandungan
kekayaannya di Blok Cepu. Ada 781 juta barel minyak. Produksinya bisa mencapai
165 ribu barel per hari. Di Nusa Tenggara juga ada emas. Sekitar 11,9 juta ons
jumlahnya. Ini baru berbicara tentang kekayaan alam di bidang tambang. Belum
menyentuh kekayaan hutan yang jumlahnya juga fantastis. Keanekaragaman hayati
yang dikandungnya adalah tertinggi di dunia. Hampir 11 % spesies tumbuhan yang
hidup di muka bumi, ada di hutan Indonesia. Apalagi jika ditambah kemurahan
alam untuk memberikan kekayaan yang terkandung di dalamnya samudera. Beragam
hasil laut ekonomis, silakan diambil.
Tapi apa yang didapat
oleh lingkungan? Ia dijarah dan ditinggalkan begitu saja. Gunung berubah
menjadi danau. Lautan limbah pasir menghampar begitu luasnya di Papua.
Pembabatan liar terjadi di mana-mana. Dalam kurun waktu tiga tahun (1997-2000)
ditemukan fakta bahwa penyusutan hutan pertahunnya mencapai 3,8 juta hektar.
Luas ini sama dengan tiga juta kali luas lapangan sepak bola. Alam juga
mengikhlaskan manusia menimba nikmat dari samuderanya yang dalam. Tapi tentu
dengan cara-cara santun. Bukan dengan ledakan potasiun atau pukat harimau. Dari
luas terumbu karang Indonesia yang mencapai 60.000 km2, kini yang berada dalam
kondisi baik ada 6,2% saja. Padahal butuh puluhan bahkan ratusan tahun untuk
tumbuhnya terumbu karang.
Manusia memang tak
mungkin bisa hidup tanpa bergantung dari alam. Syukurlah alam selalu
menyediakan kebutuhan manusia. Namun sayang, ketamakan dan egoisme manusia
membuat alam tak mendapatkan hak yang semestinya. Alam ini pasti cukup jika
hanya sekedar memenuhi kebutuhan manusia. Namun tak akan pernah cukup jika
harus memenuhi kepuasan nafsu manusia. Walaupun didatangkan lagi bumi dan
seisinya yang kedua. Manusia tak akan pernah puas.
Maka, manusia harus
jujur. Menyadari kesalahannya dan menginsafi ketamakannya. Tapi manusia mana
yang harus sadar dan disadarkan? Apakah saat alam nusantara menunjukkan
amarahnya, manusia Indonesia saja yang harus disalahkan? Tidak, jawabnya.
Karena terabaikannya hak lingkungan saat ini adalah adalah hasil dari sebuah
konspirasi global. Manusia Indonesia memang salah. Namun bukan hanya mereka. Ada
aktor intelektual di balik terenggutnya hak alam.
Rusaknya
Alam, Konspirasi Pemilik Modal
Ada amarah alam yang
lebih besar dari sekedar banjir dan tanah longsor. Bahkan lebih mengancam
daripada tsunami Aceh maupun Jepang. Amarah alam itu akrab kita sebut global
warming. Singkatnya global warming bisa ditafsirkan sebagai memanasnya bumi
secara tidak normal.
Hasil temuan sebuah
lembaga panel internasional, yang beranggotakan sekitar 100 negara, Intergovermental Panel and Climate Change
(IPCC), menyatakan bahwa pada tahun 2005 terjadi peningkatan suhu bumi 0,6
– 0,7 derajat. Bahkan di Benua Asia mencapai 1 derajat. Kenaikan yang mungkin
dirasa kecil ini ternyata mampu membuat ketersediaan air di daerah tropis
berkurang 10% hingga 30%. Hal sebaliknya justru terjadi di Benua Afrika. Disana
justru diprediksi permukaan air laut akan naik setinggi 4 sampai 6 meter,
akibat global warming yang melelehkan es gletser di Himalaya dan Kutub Selatan.
Indonesia, sebagai
negeri yang sering dijuluki paru-paru dunia, biasanya menjadi pihak tertuduh
untuk masalah ini. Indonesia secara tegas dimita untuk menjaga agar alamnya
tetap lestari. Indonesia pula yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap
pemenuhan hak-hak lingkungan.
Padahal jika mau jujur,
sebenarnya negara industri seperti
Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, Itali, Rusia, Jepang dan Kanada
merupakan negara-negara penghasil gas rumah kaca terbesar, sehingga merupakan
negara yang paling bertanggung jawab terhadap tragedi global warming. Untuk
mengalihkan citra negatif ini yang terlanjur melekat pada negara-negara
tersebut, mereka menuduh negara-negara berkembang yang memiliki hutan luas,
seperti Indonesia dan Brasil harus ikut bertanggung jawab terhadap terjadinya
global warming akibat praktek penebangan hutan di negaranya. Tidak bisa
dipungkiri memang, banyak penebang liar terjadi di Indonesia. Tapi semua itu
tidak dinikmati oleh bangsa sendiri. Justru hasilnya diekspor ke negara-negara
industri itu.
Negara industri di
Eropa jelas membutuhkan hasil hutan kita. Karena 80% hutan merekatelah rusak
disebabkan hujan asam. Hasil dari polusi udara oleh pabrik industri. Jika
dihitung-hitung rata-rata emisi orang
Amerika Serikat sebanding dengan 9 orang Cina dan 18 orang India. Tingkat
penggunaan bahan bakar fosil 8 kali lipat penduduk di negara berkembang. Kalau
sudah begini, siapa sebenarnya yang paling bertanggung jawab terhadap
terampasnya hak-hak lingkungan?
Inilah konspirasi yang mencoba mengkambinghitamkan negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia. Harus diakui, kita sebagai bangsa Indonesia
memang salah. Tapi ada yang jauh lebih bersalah lagi. Merekalah kaum kapital,
pengusung ideologi kapitalisme yang saat ini sementara menguasai dunia.
Solusi Praktis, Kembalikan Hak Lingkungan
Terpenuhinya hak alam, jelas akan berimbas positif terhadap
penghuninya. Manusia salah satunya. Sudah ada itikad baik dari pemerintah.
Sebuah upaya untuk mengembalikan hak-hak lingkungan dengan mengeluarkan
regulasi undang-undang No 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup. Upaya ini tentu akan lebih bertambah tingkat keberhasilannya, jika warga
negera pun proaktif melestarikan lingkungan. Hanya perlu langkah sederhana,
bahkan terkesan remeh temeh. Namun jika konsisten dilakukan, semoga mampu
membawa angin segar.
Pertama, mencoba pola hidup vegetarian dan makanan alami. Ternyata
energy yang didapat jika langsung mengonsumsi energy nabati adalah tujuh kali
lipat daripada jika nutrisi nabati itu diberikan kepada ternak dan kita
mengonsumsi daging ternaknya. Pola hidup yang lebih senang mengonsumsi makanan
alami dan meninggalkan makanan kemasan, akan sangat membantu. Makanan kemasan
memang lebih praktis dan awet. Tetapi plastik yang digunakan sebagai bahan
pembungkus sering tidak ramah lingkungan. Sehingga lingkungan akan semakin
menjerit, karena banyak berserakan limbah plastik yang sukar diuraikan.
Kedua, menggunakan energy ramah lingkungan. Contohnya dengan
memanfaatkan tenaga matahari. Untuk mengeringkan baju misalnya. Gunakanlah
tenaga matahari, tak perlu menggunakan mesin pengering. Ini tentu akan
menghemat energy. Atau bisa dengan menyiasati penggunaan AC (Air Conditioner).
Pada beberapa produk AC, ada yang merenggut hak lingkungan. Sebab mengeluarkan
gas CFC yang akan merusak ozon. Langkah praktis yang bisa dilakukan adalah
mendesain gedung-gedung dengan banyak ventilasi. Sehingga mampu menghemat
penerang dan pendingin ruangan. Ikutilah orang Jepang dan Jerman yang telah
mengembangkan eco-house, konsep rumah ramah lingkungan. Dinding luar berselimut
tanaman rambat, atap berlapis solar panel, aliran air pemanas ruangan dapat
dipakai mandi. Dan septic-tank yang menggandung gas metan bisa digunakan
menambah energy untuk dapur. Hindarilah penggunaan jas, jika hanya membuat
gerah. Contohilah orang Thailand dan Filipina yang mengatur baju pegawainya
dengan kaos berkerah.
Ketiga, bepergiaanlah dengan alat transportasi ramah lingkungan. Salah
satu penyumbang emisi karbondioksida adalah kendaraan bermotor. Asap-asap
inilah yang merenggut hak lingkungan untuk tetap lestari. Gunakanlah
transportasi yang teramah pada lingkungan yaitu sepeda. Jika barang bawaannya
banyak, mungkin pedati atau becak bisa jadi pilihan bijak. Kalaupun jaraknya
terlampau jauh, gunakanlah kereta api listrik. Begitupun di laut. Saat ini
telah ada kapal ramah lingkungan yang menggunakan layar mekanis. Layar ini
dapat dikembangkan secara otomatis jika kecepatan angin mengguntungkan. Cara
ini dapat menghemat penggunaan bahan bakar hingga 50%.
Keempat, minimalkan penggunaan kertas. Lembar kertas putih adalah dari
batang pohon asalnya. Semakin meningkat penggunaan kertas, maka semakin bayak
pohon yang harus ditebang. Jika di Indonesia masih banyak penerbit menggunakan
kertas putih agar terkesan lux, tidak begitu di luar negeri. Mereka menggunakan
kertas daur ulang. Misalnya untuk mencetak Harry Potter 7, sampai dikembangkan
32 jenis kertas daur ulang. Di Kanada, penerbitnya menggunakan 100% kertas daur
ulang. Langkah ini mampu membuat pencetakan Novel Harry Potter 200 ribu pohon
dan 8 juta gas rumah kaca. Atau jika memang tidak harus dalam versi cetak, maka
cukuplah buku dalam versi e-book. Kalau mengirim surat pun gunakanlah email.
Lebih efektif dan efesien tentu.
Jika tidak mampu melakukan semuanya, maka pilihlah salah satu langkah.
Mulailah dari diri sendiri, dari hal-hal yang kecil dan lakukan sekarang juga.
Begitu petuah bijak berpesan. Namun solusi praktis tidaklah cukup. Harus
diimbangi dengan solusi yang sifatnya strategis. Agar hak lingkungan mampu
diraih kembali.
Solusi Strategis, Penuntas Akar Masalah
Seperti yang telah terjabarkan, bahwa ada konspirasi dibalik
terenggutnya hak lingkungan untuk tetap lestari. Ada campur tangan dan
ketamakan pemilik modal yang bermain. Ingin mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besarnya tanpa pernah perduli kelestarian lingkungannya. Maka perlu
langkah strategis untuk itu.
Hak lingkungan alam yang terjarah, jelas bukan masalah lingkungan
semata. Tetapi ada kepentingan politik yang bermain di baliknya. Misalnya saja
pertemuan tingkat tinggi yang diadakan oleh United Nations Framework
Convention on Climate Change (UNFCCC). Pertemuan ini bertujuan untuk
mengevaluasi protocol Kyoto tahun 1997. Singkatnya protokol Kyoto berisi
kesepakatan bahwa negera industri akan mengurangi emisi karbondioksida.
Ada yang aneh dalam UNFCCC itu. Amerika Serikat sebagai negara industri
terbesar di dunia, sekaligus negara penyumbang gas rumah kaca terbesar di dunia
enggan menandatangani kesepakatan itu. Hal ini bisa dianalisis, sebagai negara
pengusung kapitalisme, AS akan melakukan apa saja untuk menjaga
perekonomiannya. Jadi jelas ada motif politik disini.
Ada pula kepentingan ekonomi yang menjadikan negara berkembang sebagai
korbannya. Jika diamati, teknologi ramah lingkungan kebanyakan dihasilkan oleh
negara barat. Negara industri yang sudah maju. Sementara negara berkembang
dijadikan pasar untuk teknologi ramah lingkungan mereka. Setelah
dikambinghitamkan sebagai penyebab kerusakan lingkungan, dipaksalah negara
berkembang itu untuk melakukan alih teknologi. Nah alih teknologi ini tentu tidak
gratis. Ada harga mahal yang harus dibayar oleh negara berkembang untuk membeli
teknologi ramah lingkungan itu. Laksana orang jatuh, tertimpa tangga pula.
Inilah gambaran nasib negara berkembang saat ini. Dan Indonesia tidak lepas
darinya.
Oleh karena itu diperlukan langkah strategis dari negara berkembang.
Khususnya Indonesia. Jangan mau terus menjadi bulan-bulanan negara industri.
Beranilah untuk sedikit menggertak. Misalnya dengan berani meminta
pertanggungjawaban perusahaan asing yang telah mengenggut hak-hak alam
nusantara. Membuatnya porak poranda dengan beragam alat berat yang menguras
kekayaan alam Indonesia. Indonesia pun harus berani melakukan peninjauan
kembali terhadap kontrak karya yang sudah ada. Contohnya di Papua. Sungguh
tidak masuk akal jika Freeport yang notabenenya adalah perusahaan asing
mendapatkan keuntungan hingga 90%. Sementara sisanya untuk Indonesia. Indonesia
adalah negara yang berdaulat. Wilayahnya dari Sabang sampai Merauke. Disinilah
kedaulatan negara teruji. Apakah tunduk pada Freeport atau mampu menentukan
nasibnya sendiri?
Kalau saja solusi praktis dan strategis ini dijalankan, besar harapan
hak alam akan kembali. Semesta akan lestari lagi. Dan amarah sang alam pun akan
terbendung. Semoga.
0 komentar:
Posting Komentar