Dimuat di Harian Tribun TImur Makassar.
Dalam sistem pemerintahan apapun eksistensi seorang
pemimpin dan proses pemilihannya adalah bagian yang sangat penting dan menarik
untuk disoroti. Dalam sistem demokrasi misalnya, untuk memilih seorang pemimpin
yang akan menakodai bangsa ini selama periode lima tahun ke depan diperlukan
persiapan yang sangat lama dan biaya hingga puluhan triliun rupiah. Setali tiga uang dengan sistem pemerintahan
Islam. Keberadaan seorang pemimpin menjadi sangat urgen dan wajib adanya.
Bahkan dalam hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Abu Hurairah
dinyaatakan bahwa, jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat
salah seorang dari mereka menjadi pemimpin. Dari hadits tersebut dapat
disimpulkan bahwa jika dalam perkara bepergian (safar) saja telah diwajibkan
memilih pemimpin, apatah lagi dalam perkara memilih pemimpin dalam tatanan
kenegaraan, tentu hal ini menjadi lebih wajib lagi. Begitulah mafhum muwafaqah
yang bisa ditarik.
Namun bukan berarti manusia berhak menentukan sendiri
metode penagangkatan pemimpin. Allah melalui Rasul-Nya telah memberikan contoh
bagaimana cara memilih pemimpin dalam sistem Islam. Dan satu-satunya metode
yang diakui oleh Islam dalam mengangkat kepala negara adalah dengan baiat. Dari
baiat ini akan diperoleh seorang pemimpin (khalifah) yang akan merangkul dan
menyatukan seluruh kaum muslimin, dibawah pemerintahannya.
Menyatukan seluruh kaum muslimin di dunia dengan
segala keberagamannya dalam bingkai institusi negara (khilafah Islamiyah)
memang adalah impian yang ideal dan tak mudah untuk diwujudkan. Apalagi jika
disuguhkan kondisi masyarakat saat ini yang masih jauh dari nilai-nilai Islam.
Realitas inilah yang mungkin menghadirkan banyak tanya dan keraguan dalam diri
kaum muslimin.
Namun perlu diingat dalam perspektif syariat Islam
kondisi masyarakat bukanlah dasar untuk menentukan status hukum suatu perkara.
Bagaimana pun kondisinya Al-Quran dan Sunah Rasulullah tatap harus dijadikan
sebagai pijakan baku. Ibarat suatu kampung dimana sebagaian besar warganya
tidak melaksanakan shalat, bukan berarti hukum shalat berubah menjadi tidak
wajib karena melihat realitas warganya. Shalat akan tetap menjadi amalan wajib
bagaimanapun kondisi suatu daerah. Singkatnya ralitaslah yang harus diubah agar
sesuai dengan syariat Islam, bukan sebaliknya.
Sama halnya dengan penegakan khilafah Islamiyah dan
pembaitan seorang khalifah sebagai pemimpin kaum muslimin seluruh dunia. Memang
jika melihat realitas saat ini umat belum siap untuk membaiat seorang khalifah.
Namun ini bukanlah dalil yang dijadikan dalih untuk tidak membaiat seorang
khalifah dan pasrah dengan kondisi yang ada. Apalagi sampai menganggap
penegakan khilafah adalah sesuatu yang utopis (mustahil). Disinilah urgensi untuk
semakin menggencarkan aktivitas dakwah, sehingga umat mampu mengangkat pemimpin
sesuai tuntunan syariat.
Baiat adalah akad sukarela antara rakyat orang yang
dipercaya untuk menjadi kepala negara yang akan memerintah mereka berdasarkan
hukum-hukum Allah. Karena itu bisa dikatakan baiat adalah satu-satunya metode
pengangkatan kepala negara dalam sistem Islam.
Allah swt melalui lisan Rasulullah telah mewajibkan
kepada kaum muslimin agar dipundaknya terdapat baiat. Bahkan Rasulullah
menyifati orang yang mati namun dipundaknya tidak ada baiat, seperti orang yang
mati dalam keadaan jahiliyah.
Wajibnya membaiat seorang khalifah tak bisa dibantah
lagi. Ijma’ sahabat secara jelas telah menunjukkan hal itu. Saat Rasulullah
wafat, para sahabat menunda penguburan jenazah Beliau. Rasulullah wafat pada
waktu dhuha hari senin dan baru dikebumikan pada Selasa malam (malam Rabu)
setelah Abu Bakar dibaiat sebagai khalifah pengganti Rasulullah. Mereka lebih menyibukkan diri untuk membaiat
seorang khalifah. Padahal menyegerakan pemakaman jenazah adalah wajib namun
ternyata mereka menganggap membaiat seorang khalifah jauh lebih penting. Dari
kisah ini dapat disimpulkan bahwa kaum muslimin hanya diberi jeda selama dua
hari untuk membaiat seorang khalifah. Coba bayangkan sudah berapa lama kaum
muslimin tidak membaiat seorang khalifah semenjak runtuhnya kekhilafahan di Turki
pada tahun 1924.
Syariat Islam adalah aturan yang begitu sempurna.
Ketika umat Islam diwajibkan mengangkat seorang khliafah, maka syariat Islam
juga telah menentukan baiat sebagai satu-satunya metode pengangkatan khlaifah.
Kedudukan baiat sebgai metode pengangkatan khalifah sudah ditetapkan
berdasarkan baiat kaum muslimin kepada Rasulullah saw di Madinah dan
berdasarkan perintah Beliau kepada kita untuk mebaiat seorang imam/khalifah. Saat
di Madinah baiat kaum muslimin kepada Rasulullah saw sesungguhnya bukanlah
baiat atas kenabian. Karena tak perlu diragukan lagi bahwa tak ada satu pun
sahabat Rasulullah pada saat itu yang meragukan kenabian Beliau. Jadi baiat itu
bukanlah ditujukan untuk membenarkan kenabian Beliau, melainkan sebagai
pengakuan atas kapasitas Rasulullah sebagai penguasa/pemimpin negara dan bukan
sebagai nabi dan rasul. Sebab pangakuan atas kenabian dan kerasulan adalah
perkara iman bukan masalah baiat. Disinilah terlihat begitu erat korelasi
antara baiat dan terpilihnya pemimpin dalam pemerintahan Islam.
Lalu bagaimana tata cara pembaiatan seseorang untuk
menjadi khalifah? Bukankah dalam sejarah Islam, banyak sekali model pengalihan
kekuasaan? Memang prosedur praktis yang bisa menyempurnakan pengangkatan
khalifah menggunakan prosedur teknis yang berbeda-beda, namun semuanya masih
dalam koridor baiat. Jika ditelaah dari sirah sahabat ada dua jenis baiat yaitu
baiat in’iqad dan baiat ta’at.
Baiat in’iqad adalah baiat yang menunjukkan legalitas
orang yang dibaiat sebagai khliafah yang akan menjadi pemilik kekuasaan dan dia
berhak ditaati, ditolong dan wajib diikuti selama tidak bertentangan dengan
Al-Quran dan Sunnah.
Baiat ta’at adalah baiat kaum mulsimin terhadap
khalifah terpilih dengan memberikan ketaatan kepadanya. Baiat ta’at ini
bukanlah dimaksudkan untuk mengangkat khalifah karena khlaifah sudah ada.
Pendapat ini didasarkan pada ijma sahabat. Misalnya pada saat pembaiatan Abu
Bakar menjadi khliafah pertama penggati Rasulullah. Abu Bakar diangkat oleh sebagian sahabat,
sebagai representasi dari semua sahabat, baik dari kalangan Muhajirin maupun
Anshar. Pembaitan tersebut dilakukan di Saqifah dan keesokan harinya kaum
muslimin dikumpulkan di masjid, kemudian Abu Bakar berbicara di atas mimbar.
Namun sebelum Abu Bakar berbicara, Umar mendahuli
pembicaraan dengan mengatakan, “Sesungguhnya
Allah telah mengumpulkan urusan kalian kepada pundak orang terbaik di antara
kalian. Dia Sahabat yang berdua bersama
Rasul di gua. Berdirilah kalian,
baiatlah dia."
Pada saat itu kaum muslimin yang hadir langsung
membaiat Abu Bakar setalah pembaiatan di Saqifah. Pembaiatan Abu Bakar di
Saqifah oleh beberapa sahabat adalah baiat in’iqad, sedangkan pembaiatan kaum
muslimin di masjid adalah baiat ta’at. Hal ini pun terjadi pada khalifah
setelahnya. Metode ini memberikan gambaran dan penegasan tentang keridhaan
rakyat kepada khalifah.
Walaupun dalam prakteknya terdapat beragam teknis
pelaksanaan, namun substansi dasarnya tetap sama yaitu baiat yang mana di
dalamnya terdapat baiat in’iqad dan baiat ta’at. Bagaimanapun teknis
pelaksanaannya yang jelas khalifah dibaiat oleh rakyat untuk melaksanakan hukum
Allah, sehingga rakyat wajib taat dan patuh kepada khalifah. Begitupun seorang
khalifah, menduduki tampuk pimpinan bukan karena terdorong motif ekonomi, namun
semata-mata hanya untuk melaksanakan perintah Allah. Sehingga khalifah
benar-benar akan menjadi pengembala untuk rakyatnya. Sekali lagi perbedaan
teknis pelaksanaan bukanlah masalah, asal tetap dalam mekanisme baiat.
Inilah perbedaan mendasar pemilihan ala demokrasi dan
pemilihan Islam. Dalam sistem demokrasi saat ini, kita memilih pemimpin namun
tidak ada yang bisa menjamin sosok pemimpin yang kita pilih nantinya akan
menerapkan hukum-hukum Allah. Maka wajar jika Pilkada, pilcaleg, dan pilpres
yang telah menghabiskan dana begitu besar belum mampu mensejahterakan umat.
0 komentar:
Posting Komentar