Dimuat di Harian Tribun Timur Makassar.
Pemilu legislatif telah berlalu. Banyak fenomena yang
memiriskan hati terjadi. Mulai dari kacaunya Daftar PemilihTetap (DPT), bahkan
sampai maraknya calon legislastif (caleg) yang mengalami depresi berat akibat
jumlah suara yang begitu minim, sementara pengorbanan yang dikeluarkan begitu
besar.
Salah satu fenomena yang begitu ditakutkan dalam
berbagai pemilihan kepala daerah dan pemilu legislatif pun kembali terjadi. Ya,
apalagi kalau bukan fenomena masyarakat yang memilih untuk tidak memilih alias
golput.
Untuk mengatasi ancaman ini berbagai upaya telah
dilakukan. Penetapan rentan masa kampanye yang begitu panjang, sehingga
memungkinkan sosialisasi pemilu calon legislatif lebih gencar. Tidak cukup
dengan itu, melihat potensi rakyat Indonesia yang mayoritas penduduknya
beragama Islam, maka diprediksi akan semakin efektif untuk menekan angka golput
jika menggunakan pendekatan dalil normatif. Wajar jika kesimpulan seperti ini
muncul. Karena beberapa hasil survey menunjukkan bahwa masyarakat muslim
Indonesia, dari waktu ke waktu semakin religius dan semakin rindu untuk kembali
menerapkan syariat Islam dalam sendi kehidupannya. Misalnya survey yang
dilakukan oleh Roy Morgan Research, melibatkan 8.000 responden dari seluruh
negeri dan menemukan bahwa 52 % responden mendukung syariat Islam diterapkan di
daerah mereka. Lain lagi hasil survey yang dilakukan oleh aktivis gerakan
nasionalis, yang menguak fakta bahwa 80 % mahasiswa memilih syariat Islam
sebagai pandangan hidup dalam berbangsa dan bernegara.
Melihat kesadaran umat Islam yang semakin membuncah
untuk menerapkan syariat Islam, maka dikeluarkanlah fatwa MUI yang secara
tersirat mengharamkan umat Islam jika tidak menggunakan hak pilihnya. Tentunya besar
harapan, jika yang digunakan adalah argumen dalil Al-Quran dan sunnah akan
meluluhkan hati umat Islam, dan pada akhirnya nanti akan tergerak untuk
menggunakan hak pilihnya.
Memang tidak salah (bahkan hal yang wajib) jika umat
Islam dicerdaskan dengan mendesak meraka untuk selalu menggunakan syariat Islam
yang bersumber dari pengelaborasian dalil Al-Quran dan Sunah dalam mengatur
aspek kehidupan meraka. Karena memang syariat Islam adalah seperangkat aturan
yang sempurna yang memiliki jawaban terhadap seluruh problematika kehidupan
yang ada.
Namun tentu adalah hal yang keliru jika kaidah fiqh
yang bersumber dari Al-Quran dan sunah dipolitisasi dan digunakan secara
serampangan bukan pada konteksnya. Jika hal ini yang terjadi maka terjadi
penyesatan opini Islam ditengah-tengah masyarakat. Sadar atau tidak fenomena
ini sering terjadi ditengah-tengah masyarakat, apalagi menjelang pemilu.
Salah satu kaidah fiqh yang sering digunakan sebagai
argumentasi yang diharapkan dapat menggugah hati masyarakat (khususnya umat
Islam) untuk menggunakan hak pilihnya adalah kaidah ahwan asy-syarrayn (memilih keburukan yang lebih ringan diantara
dua keburukan).
Kaidah ini sering digunakan untuk menjawab alasan
kaum muslimin yang memilih golput dengan alasan ideologis, dengan manyatakan
bahwa mereka tidak memilih karena ternyata tidak ada satu pun calon yang secara
terang-terangan memliki visi dan misi memperjuangkan tegaknya syariat Islam.
Nah untuk menjawab alasan ini maka kita sering disuguhi jawaban,” jika semua calon dianggap buruk maka pilihlah
yang sedikit buruknya, dan jangan sampai tidak memilih sama sekali”.
Sebenarnya kaidah fiqh ini tidak bisa diterapkan pada
seluruh kasus kehidupan. Kaidah ini hanya boleh diterapkan pada kasus-kasus
yang bersifat darurat saja. Misalnya jika ada seorang ibu yang hamil atau sulit
melahirkan dan ternyata dokter tidak bisa menyelamatkan keduanya sekaligus, dan
harus segera diputuskan diantara dua pilihan yaitu menyelamatkan ibu tetapi
mengakibatkan kematian janin, atau menyelamatkan janin dan akan menyebabkan
kematian ibu. Jika salah satu dari dua opsi ini tidak dipilih maka akan
menyebabkan bahaya yang lebih besar yaitu kematian keduanya, ibu dan janin.
Pada kasus ini kaidah ahwan asy-syarrayn
dapat diberlakukan dan harus segera diputuskan menyelamatkan ibu meski
berakibat kematian janin.
Pertanyaannya sekarang apakan kaidah ini cocok
digunakan untuk melegitimasi pemilu dan dijadikan dalil untuk mengharamkan
golput? Jawabannya tidak. Penerapan kaidah ini harus memenuhi ketentuan, syarat
dan batasan yang telah ditentukan oleh ulama fiqh. Menurut DR. Mahmud Abdul
Karim Hasan, kaidah ahwan asy-syarrayn
tidak bisa diberlakukan secara serampangan. Kaidah ini hanya boleh diberlakukan
pada dua kondisi yaitu :
Pertama, tidak bisa menghindari dua perkara yang
diharamkan atau yang mengandung bahaya kecuali dengan melakukan salah satunya.
Kita tidak mungkin meninggalkan kedua-duanya karena sangat sulit dan diluar
batas kemampuan kita. Dan memang pada kondisi itu tidak ada lagi pilihan
ketiga. Benar-benar kita hanya diperhadapkan pada dua pilihan saja.
Kedua, bisa menghindari dua perkara yang diharamakan
(berbahaya), namun ketika kedua perkara itu dihindari akan terjadi keharaman
yang lebih besar lagi. Namun untuk menentukan sesuatu itu bahaya atau tidak, harus berdasarkan pada
syariat Islam bukan berdasarkan hawa nafsu manusia. Termasuk dalam menentukan
kondisi darurat.
Nah jika melihat syarat-syarat diatas, maka kaidah ahwan asy-syarrayn tidak dapat digunakan
dalam melegitimasi pemilu dengan dalih kita harus memilih calon A yang sedikit
buruknya, karena jika kita tidak memilih, maka calon B yang lebih banyak
buruknya akan terpilih. Contoh kasus lain misalnya ketika kita diberi dua opsi
untuk memilih. Apakah akan memilih seorang muslim untuk mengelola tempat
prostitusi ataukah memberikannya kepada orang non muslim untuk mengelolanya?
Tentu yang kita lakukan adalah meninggalkan dua pilihan tersebut, karena
kedua-duanya adalah haram. Ternyata masih ada pilihan ketiga yang lebih aman
bahkan wajib dilakukan yaitu menyadarkan umat untuk tidak mendekati zina.
Hal penting yang harus diingat adalah, kaidah ahwan asy-syarrayn hanya boleh dipakai
dalam kondisi darurat. Apakah pemilu dapat dikategorikan sebagai kondisi
darurat? Dari fakta historis telah sepuluh kali bangsa ini mengadakan pemilu
namun ternyata belum mampu menyelesaikan permasalahan bangsa. Selain itu
sejarah telah membuktikan, banyak perubahan besar yang terjadi tidak diawali
dengan pemilu. Sebut saja kemerdekaan bangsa Indonesia. Terwujudnya kemerdekaan
Indonesia ternyata melalui perjuangan gigih para pahlawan dan sama sekali tidak
diawali dengan pemilu. Atau runtuhnya rezim otoriter orde baru yang telah
menguasai bangsa ini selama puluhan tahun, ternyata juga tidak diawali dengan
pemilu. Oleh karena itu keberadaan pemilu tidak dapat dijadikan indicator hidup
matinya bangsa ini.
Menurut imam Malik suatu kondisi dapat dikatakan
darurat adalah apabila kondisi tersebut betul-betul mengancam nyawa atau dapat
menyebabkan cacat seumur hidup. Maka dibolehkan seseorang mengkonsumsi makanan
haram jika tidak didapati lagi makanan yang halal, karena apabila tidak
mengkonsumsi makanan tersebut, akan menyebabkan kematian baginya. Nah bisa
diramalkan efek dari pemilu tidak akan memenuhi syarat seperti yang diajukan
oleh imam Malik. Walhasil pemilu tidak dapat dijadikan sebagai kondisi darurat.
Oleh karena itu, umat Islam harus menyadari bahwa
memilih dalam pemilu adalah hak. Dan setiap hak akan dimintai pertanggung
jawabannya di akhirat kelak. Pemilu harus diarahkan mendaulat orang yang
betul-betul lantang dan terangan-terangan memperjuangkan syariat Islam dan
tidak melakukan fungsi legislatif karena dalam perspektif Islam, fungsi
legislasi hukum adalah ditangan Allah.
Jika tidak puas dengan kualitas calon yang disajikan
sekarang maka tugas kita adalah semakin menggencarkan dakwah sebagai edukasi
politik Islami, melakukan amar makruf nahi mungkar, serta berusaha mewujudkan
orang-orang yang layak dipilih dan yang lebih penting lagi mewujudkan
pemberlakuan sistem Islam secara kaffah dalam naungan institusi khilafah
Islamiyah. Sayangnya pemilu diorientasikan hanya untuk mengganti orang, bukan
mengganti sistem.
0 komentar:
Posting Komentar