Rabu, 18 Januari 2012

Di Tiang Gantungan Cinta Suci Terikrar


Aku berdiri berkalung tali tambang. Detik mencekam menjelang eksekusi mati.
Disampingku ada Aisyah. Wanita jelita yang ku nikahi sebulan lalu. Hafalan Quranku telah menjadi maharnya. Temali tambang pun terlingkar erat di lehernya. Walaupun begitu, ia tetap terlihat mempesona berbalut jilbab hitamnya.
Ah, cintaku. Kala itu di masjid Al-Aqsha, saat engkau membersamaiku melempari tentara Israel yang mencoba menghadangku melaksanakan shalat Jumat. Berkatmu kewajiban shalatku tertunaikan. Kini aku wajib menunaikan kewajibanku. Membahagiakanmu. Walau di tiang gantungan.
“Fatih…!” Suara Gorbacev, Jendral tentara Israel, memanggilku.
“Engkau dan istrimu bisa terbebas. Syaratnya engkau harus menandatangani ini!” Ucap Gorbacev, sambil menyodorkan selembar kertas.
Aku membacanya. Sepasang mata lentik Aisyah melirik, turut membaca. Surat pernyataan bersalah.
“Suamiku, jangan perturutkan surat itu. Engkau tidak bersalah. Engkau hanya ingin menunaikan kewajibanmu pada Rabb pemilik jiwamu.”
“Suamiku, ingatkah saat kau pinang aku dan aku bertanya, apa cita-cita tertinggimu? Engkau mejawab, cita-cita tertinggimu adalah syahid di jalan Allah. Jangan pernah menyerah. Sadarlah kini engkau semakin dekat dengan impianmu!” Gerimis air matanya Aisyah semakin menjadi.
“Duhai Fatih, mengapa engkau berpikir untuk meyerah? Syahid sudah di depan mata. Syahid yang sempurna. Karena engkau akan membersamai bidadari duniamu menapaki gerbang surga. Lemparkan surat itu Fatih! Lempar!” Teriakku dalam hati. Menghardik nurani sendiri.
Aku ramas surat itu, ku lemparkan di hadapan Jendral Gorbacev.
“Telunjuk ini selalu bersyahadat disetiap shalatku. Pantang baginya untuk menyerah kalah.” Ucapku membentak Gorbacev.
“Berarti engkau lebih memilih mati?” Tanya Gorbacev Jengkel.
“Ya aku dan istriku ingin lekas bertemu dengan Rabb Sang Pengenggam jiwa kami!”
“Baiklah jika itu pilihanmu. Prajurit…tarik tali kekangnya.” Teriak Gorbacev begitu keras.
Srreeet…
Leherku terasa begitu sesak. Tercekik sakit. Kulihat Aisyah pun menahan sakit. Wajahnya mulai memucat.
“Inilah puncak cinta kita sayang! Sampai jumpa di gerbang surga.” Kataku lirih kepada Aisyah, ku genggam tangannya erat.
Kami pun bersama menyenandungkan syahadat. Sambil menunggu senyum malaikat maut.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More