Syariat Islam dan Masyarakat Non Muslim

Banyak yang takut jika syariat Islam tegak. Non muslim diantaranya. Padahal sejarah telah membuktikan jika Islam pun menjamin kehidupan mereka.

Pendidikan Berbasis Syariat Islam

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Adi Wijaya - Sang Penjaga Altar Kemenangan

Sebuah pengabadian karya dari seorang penulis muda yang terus berkarya dan berbenah diri.

KUMPULAN TULISAN

Temukan jejak karya, opini, artikel,esai juga cerpen. Menulis untuk mengukir peradaban mulia.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 23 Januari 2012

Surat Untuk Dewi "Dee" Lestari


Dee. Aku bingung padamu. Entahlah, Dee itu makhluk apa. Insan tampan lagi menawan atau sosok juwita nan jelita? Ah semuanya tersingkap saat tahu namamu, Dewi Lestari. Dewi pertanda sosok wanita mulia. Lestari, kata lain keabadian. Dewi lestari, sosok wanita yang hidup mengabadi. Dan benarlah pilihan hidupmu, menata indah aksara dalam beragam karya. Menulis. Karena menulis adalah bekerja untuk keabadiaan, begitu pesan Bang Pramoedya.
Oh iya,rasanya kurang sopan jika aku menyapamu dengan : kamu, kau atau dikau. Karena rentang usia kita berpaut 11 tahun. Engkau kelahiran 76, aku 87. Aku lebih muda. Maka ijinkanku mendaulatmu dengan sapa hormat, Kanda. Kanda Dee. Semoga tak berkeberatan.
Kanda Dee, mengarungi setiap racikan katamu, membekaskan cita rasa tersendiri. Nikmat dengan pilihan diksi tepat. Gurih dengan beragam istilah lucu yang mentersenyumkan aku. Kadang juga ada rasa getir, hingga harus membacanya berulang-ulang. Empat kali bolak balik. Tersebab karakter tokoh yang membingungkan. Juga jalinan cerita yang akalku sulit menerimanya, lalu bertanya, “Apa mungkin bisa seperti itu?”
Misalnya Si Bodhi yang sebatang kara itu. Kanda Dee, bagiku ia terlampau sempurna. Lihai bersilat Kung Fu. Juga mahir mentatto indah. Tambah lagi pengkaji ideologi anarki. Tapi setelah dipikir-pikir, itu bukan masalah. Hitung-hitung sebagai ujian kesabaranku dan berlatih untuk berimajinasi. Kanda, teruslah berkarya. Agar aku bisa terus berdecak kagum dengan diksimu, tersenyum bersama leluconmu dan berimajinasi dengan ketidakrasionalan kisahmu. Untuk yang terakhir, jangan tersinggung Kanda. Karena harta yang paling berharga bagi seorang penulis ada kritikan. Bukan pujian. Karena terkadang pujian itu melenakan. Dan saksikan, aku di sini sebagai adikmu (itu pun jika diakui), pembacamu, sekaligus pengkrtikmu. Lengkaplah sudah.
Kanda Dee, betapa ingin terus bersua denganmu, meski lewat perantaraan karya. Terkadang itu lebih berkesan, deripada langsung bertatap, saling melempar senyum sapa. Biarlah penasaran itu tetap membunga dalam taman rindu. Dan terobati dengan hadirnya beragam novel karyamu.
Kanda Dee, aku belum kuasa memiliki dan membaca semua kerja kebadianmu, novel-novelmu. Pasti masih banyak rahasia yang tersimpan dalam Madre. Dan ingin sekali aku berlayar, mengelanai dunia. Aku tak ingin menggunakan kapal pesiar mewah seperti Concordia yang baru tenggelam itu. Biarlah aku kelanai dunia bersama indah “Perahu Kertas”.  Juga ingin kulalui hari-hari ini dengan berkarya sepertimu Kanda Dee. Karena aku juga seorang penulis. Penulis pemula tepatnya. Berimpian melewati temaram senja dan dinginnya malam dengan secangkir “Filosofi Kopi”. Semoga Allah, Sang Pengabul impian, mendengar doa-doa ini. Selalu membersamai Kanda Dee, dalam setiap karyanya.
Kanda Dee, begitu saja. Sampai jumpa. Kali ini hanya 400 kata yang kuasa kuukir untukmu.

Dari timur, Bumi Anging Mamiri, Makassar.

Dari : Adi Wijaya

Rabu, 18 Januari 2012

Meradam Amarah Alam



Tulisan ini pernah diikutkan dalam lomba menulis artikel yang diadakan oleh "Rumah Kosong 124, tapi masih tertunda kemenangannya"

Alam bersabda, “Ini gunung emas, keruklah. Itu bukit batubara, tambanglah. Disana ada kolam minyak, timbalah. Tetapi jangan lupa bersyukur. Atau Amarahku akan mengguncangmu…”

Mari berimajinasilah sejenak. Rasakan kita hidup di negeri kaya nan makmur. Tak periu bertanya apalagi risau dengan urusan sandang, pangan dan papan, semuanya telah tuntas terpenuhi. Pendidikannya berkualitas, lagi gratis. Layanan kesehatan tak perlu bayar. Pengangguran diberikan kesempatan kerja sebesar-besarnya. Bahkan dianggap tindakan kriminal jika lelaki dewasa tak mau bekerja. Mereka yang renta tak punya kuasa, disantuni negara. Seperti yang dikabarkan dalam UUD Pasal 34 ayat (1), “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.” Alamnya permai, indah lagi sejuk. Guyuran air hujan adalah rahmat. Bukan petaka yang membuat hati was-was, akan datangnya banjir bandang. Indah sekali potret negeri itu. Seperti di negeri dongeng saja. Siapapun pasti rindu untuk hidup di dalamnya.
Sebenarnya negeri imajinasi di atas tidak hanya menjadi dongeng belaka. Bisa berlaku di Indonesia. Andai saja negeri ini mampu memanfaatkan kekayaan alamnya dengan baik. Sembari mengembalikan hak asasi lingkungan. Jangan salah, bukan sekedar manusia yang punya hak asasi. Lingkungan pun ada haknya. Manusia akan marah jika haknya tidak tertunaikan. Begitupun lingkungan. Jika tak terberikan haknya, tunggulah, ada gertakan alam yang siap menghadang. Dan jika alam yang sudah marah, manusia sekuat apapun tidak kuasa membendungnya.
Alam akan menggertak dengan keengganannya menghalau deburan ombak. Bila sudah begitu bibir pantai pun mengalami erosi.  Sekarang saja ada 400 km pantai di Indonesia mengalami erosi. Meyebabkan dataran semakin sempit. Serta beragam flora dan fauna pinggir pantai musnah, hanya tinggal sejarah. Hati-hati pula jika alam menunjukkan keengganannya menyerap limpasan air hujan. Lantaran tangan-tangan jahil telah membabat hutan hijau secara membabi buta. Alam akan menggertak dengan guyuran banjir bandang. Juga dengan gemuruh tanah longsor. Melumat semua yang ada, walaupun ia tak punya dosa.
Inilah kemarahan alam yang tak bisa terbendung. Alam telah menunaikan kewajibannya. Memasrahkan diri untuk dimanfaatkan manusia. Tengoklah potensi pertambangan Indonesia. Kita punya gunung emas, kolam minyak, serta bukit batubara. Ayo kita bertamasya ke gunung emas Gresberg di Papua. Alam telah mempersilakan untuk dimanfaatkan. Tentunya demi kesejahteraan anak negeri. Sayang, semua diberikan kepada PT Freeport. Perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) yang awalnya hampir bangkrut. Namun berjaya setelah menemukan dan merampok gunung emas Gresberg.  Indoensia hanya mendapatkan jatah 9,4 % saja. Itu pun negara sangat tidak berdaya menuntut kenaikan royalty walau hanya 1 %. Padahal siapa sebenarnya pemilik gunung emas itu? AS kah atau Indonesia?
 Diprediksi produksi emas di Freeport bisa mencapai 200 kg per hari. Jangan tanya tentang keuntungan yang diperoleh Freeport. Sejak hadirnya di Papua sudah 7,3 juta ton tembaga dan 725 juta ton emas disedot. Bahkan ditaksir keuntung Freeport dalam setahun mencapai 8.000 trilun rupiah. Bandingkan dengan APBN Indonesia yang hanya sekitar 1.200 triliun rupiah. Artinya Freeport tujuh kali lebih kaya dari Indonesia. Jadi dari potensi Freeport saja, sudah bisa menghidupi Indonesia selama tujuh tahun ke depan.
Ini baru nikmat alam dari Freeport. Belum kita menghitung keikhlasan alam memberikan kandungan kekayaannya di Blok Cepu. Ada 781 juta barel minyak. Produksinya bisa mencapai 165 ribu barel per hari. Di Nusa Tenggara juga ada emas. Sekitar 11,9 juta ons jumlahnya. Ini baru berbicara tentang kekayaan alam di bidang tambang. Belum menyentuh kekayaan hutan yang jumlahnya juga fantastis. Keanekaragaman hayati yang dikandungnya adalah tertinggi di dunia. Hampir 11 % spesies tumbuhan yang hidup di muka bumi, ada di hutan Indonesia. Apalagi jika ditambah kemurahan alam untuk memberikan kekayaan yang terkandung di dalamnya samudera. Beragam hasil laut ekonomis, silakan diambil.
Tapi apa yang didapat oleh lingkungan? Ia dijarah dan ditinggalkan begitu saja. Gunung berubah menjadi danau. Lautan limbah pasir menghampar begitu luasnya di Papua. Pembabatan liar terjadi di mana-mana. Dalam kurun waktu tiga tahun (1997-2000) ditemukan fakta bahwa penyusutan hutan pertahunnya mencapai 3,8 juta hektar. Luas ini sama dengan tiga juta kali luas lapangan sepak bola. Alam juga mengikhlaskan manusia menimba nikmat dari samuderanya yang dalam. Tapi tentu dengan cara-cara santun. Bukan dengan ledakan potasiun atau pukat harimau. Dari luas terumbu karang Indonesia yang mencapai 60.000 km2, kini yang berada dalam kondisi baik ada 6,2% saja. Padahal butuh puluhan bahkan ratusan tahun untuk tumbuhnya terumbu karang.
Manusia memang tak mungkin bisa hidup tanpa bergantung dari alam. Syukurlah alam selalu menyediakan kebutuhan manusia. Namun sayang, ketamakan dan egoisme manusia membuat alam tak mendapatkan hak yang semestinya. Alam ini pasti cukup jika hanya sekedar memenuhi kebutuhan manusia. Namun tak akan pernah cukup jika harus memenuhi kepuasan nafsu manusia. Walaupun didatangkan lagi bumi dan seisinya yang kedua. Manusia tak akan pernah puas.
Maka, manusia harus jujur. Menyadari kesalahannya dan menginsafi ketamakannya. Tapi manusia mana yang harus sadar dan disadarkan? Apakah saat alam nusantara menunjukkan amarahnya, manusia Indonesia saja yang harus disalahkan? Tidak, jawabnya. Karena terabaikannya hak lingkungan saat ini adalah adalah hasil dari sebuah konspirasi global. Manusia Indonesia memang salah. Namun bukan hanya mereka. Ada aktor intelektual di balik terenggutnya hak alam.

Rusaknya Alam, Konspirasi Pemilik Modal
Ada amarah alam yang lebih besar dari sekedar banjir dan tanah longsor. Bahkan lebih mengancam daripada tsunami Aceh maupun Jepang. Amarah alam itu akrab kita sebut global warming. Singkatnya global warming bisa ditafsirkan sebagai memanasnya bumi secara tidak normal.
Hasil temuan sebuah lembaga panel internasional, yang beranggotakan sekitar 100 negara, Intergovermental Panel and Climate Change (IPCC), menyatakan bahwa pada tahun 2005 terjadi peningkatan suhu bumi 0,6 – 0,7 derajat. Bahkan di Benua Asia mencapai 1 derajat. Kenaikan yang mungkin dirasa kecil ini ternyata mampu membuat ketersediaan air di daerah tropis berkurang 10% hingga 30%. Hal sebaliknya justru terjadi di Benua Afrika. Disana justru diprediksi permukaan air laut akan naik setinggi 4 sampai 6 meter, akibat global warming yang melelehkan es gletser di Himalaya dan Kutub Selatan.
Indonesia, sebagai negeri yang sering dijuluki paru-paru dunia, biasanya menjadi pihak tertuduh untuk masalah ini. Indonesia secara tegas dimita untuk menjaga agar alamnya tetap lestari. Indonesia pula yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap pemenuhan hak-hak lingkungan.
Padahal jika mau jujur, sebenarnya negara industri seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, Itali, Rusia, Jepang dan Kanada merupakan negara-negara penghasil gas rumah kaca terbesar, sehingga merupakan negara yang paling bertanggung jawab terhadap tragedi global warming. Untuk mengalihkan citra negatif ini yang terlanjur melekat pada negara-negara tersebut, mereka menuduh negara-negara berkembang yang memiliki hutan luas, seperti Indonesia dan Brasil harus ikut bertanggung jawab terhadap terjadinya global warming akibat praktek penebangan hutan di negaranya. Tidak bisa dipungkiri memang, banyak penebang liar terjadi di Indonesia. Tapi semua itu tidak dinikmati oleh bangsa sendiri. Justru hasilnya diekspor ke negara-negara industri itu.
Negara industri di Eropa jelas membutuhkan hasil hutan kita. Karena 80% hutan merekatelah rusak disebabkan hujan asam. Hasil dari polusi udara oleh pabrik industri. Jika dihitung-hitung rata-rata emisi orang Amerika Serikat sebanding dengan 9 orang Cina dan 18 orang India. Tingkat penggunaan bahan bakar fosil 8 kali lipat penduduk di negara berkembang. Kalau sudah begini, siapa sebenarnya yang paling bertanggung jawab terhadap terampasnya hak-hak lingkungan?
Inilah konspirasi yang mencoba mengkambinghitamkan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Harus diakui, kita sebagai bangsa Indonesia memang salah. Tapi ada yang jauh lebih bersalah lagi. Merekalah kaum kapital, pengusung ideologi kapitalisme yang saat ini sementara menguasai dunia.

Solusi Praktis, Kembalikan Hak Lingkungan
Terpenuhinya hak alam, jelas akan berimbas positif terhadap penghuninya. Manusia salah satunya. Sudah ada itikad baik dari pemerintah. Sebuah upaya untuk mengembalikan hak-hak lingkungan dengan mengeluarkan regulasi undang-undang No 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Upaya ini tentu akan lebih bertambah tingkat keberhasilannya, jika warga negera pun proaktif melestarikan lingkungan. Hanya perlu langkah sederhana, bahkan terkesan remeh temeh. Namun jika konsisten dilakukan, semoga mampu membawa angin segar.
Pertama, mencoba pola hidup vegetarian dan makanan alami. Ternyata energy yang didapat jika langsung mengonsumsi energy nabati adalah tujuh kali lipat daripada jika nutrisi nabati itu diberikan kepada ternak dan kita mengonsumsi daging ternaknya. Pola hidup yang lebih senang mengonsumsi makanan alami dan meninggalkan makanan kemasan, akan sangat membantu. Makanan kemasan memang lebih praktis dan awet. Tetapi plastik yang digunakan sebagai bahan pembungkus sering tidak ramah lingkungan. Sehingga lingkungan akan semakin menjerit, karena banyak berserakan limbah plastik yang sukar diuraikan.
Kedua, menggunakan energy ramah lingkungan. Contohnya dengan memanfaatkan tenaga matahari. Untuk mengeringkan baju misalnya. Gunakanlah tenaga matahari, tak perlu menggunakan mesin pengering. Ini tentu akan menghemat energy. Atau bisa dengan menyiasati penggunaan AC (Air Conditioner). Pada beberapa produk AC, ada yang merenggut hak lingkungan. Sebab mengeluarkan gas CFC yang akan merusak ozon. Langkah praktis yang bisa dilakukan adalah mendesain gedung-gedung dengan banyak ventilasi. Sehingga mampu menghemat penerang dan pendingin ruangan. Ikutilah orang Jepang dan Jerman yang telah mengembangkan eco-house, konsep rumah ramah lingkungan. Dinding luar berselimut tanaman rambat, atap berlapis solar panel, aliran air pemanas ruangan dapat dipakai mandi. Dan septic-tank yang menggandung gas metan bisa digunakan menambah energy untuk dapur. Hindarilah penggunaan jas, jika hanya membuat gerah. Contohilah orang Thailand dan Filipina yang mengatur baju pegawainya dengan kaos berkerah.
Ketiga, bepergiaanlah dengan alat transportasi ramah lingkungan. Salah satu penyumbang emisi karbondioksida adalah kendaraan bermotor. Asap-asap inilah yang merenggut hak lingkungan untuk tetap lestari. Gunakanlah transportasi yang teramah pada lingkungan yaitu sepeda. Jika barang bawaannya banyak, mungkin pedati atau becak bisa jadi pilihan bijak. Kalaupun jaraknya terlampau jauh, gunakanlah kereta api listrik. Begitupun di laut. Saat ini telah ada kapal ramah lingkungan yang menggunakan layar mekanis. Layar ini dapat dikembangkan secara otomatis jika kecepatan angin mengguntungkan. Cara ini dapat menghemat penggunaan bahan bakar hingga 50%.
Keempat, minimalkan penggunaan kertas. Lembar kertas putih adalah dari batang pohon asalnya. Semakin meningkat penggunaan kertas, maka semakin bayak pohon yang harus ditebang. Jika di Indonesia masih banyak penerbit menggunakan kertas putih agar terkesan lux, tidak begitu di luar negeri. Mereka menggunakan kertas daur ulang. Misalnya untuk mencetak Harry Potter 7, sampai dikembangkan 32 jenis kertas daur ulang. Di Kanada, penerbitnya menggunakan 100% kertas daur ulang. Langkah ini mampu membuat pencetakan Novel Harry Potter 200 ribu pohon dan 8 juta gas rumah kaca. Atau jika memang tidak harus dalam versi cetak, maka cukuplah buku dalam versi e-book. Kalau mengirim surat pun gunakanlah email. Lebih efektif dan efesien tentu.
Jika tidak mampu melakukan semuanya, maka pilihlah salah satu langkah. Mulailah dari diri sendiri, dari hal-hal yang kecil dan lakukan sekarang juga. Begitu petuah bijak berpesan. Namun solusi praktis tidaklah cukup. Harus diimbangi dengan solusi yang sifatnya strategis. Agar hak lingkungan mampu diraih kembali.

Solusi Strategis, Penuntas Akar Masalah
Seperti yang telah terjabarkan, bahwa ada konspirasi dibalik terenggutnya hak lingkungan untuk tetap lestari. Ada campur tangan dan ketamakan pemilik modal yang bermain. Ingin mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa pernah perduli kelestarian lingkungannya. Maka perlu langkah strategis untuk itu.
Hak lingkungan alam yang terjarah, jelas bukan masalah lingkungan semata. Tetapi ada kepentingan politik yang bermain di baliknya. Misalnya saja pertemuan tingkat tinggi yang diadakan oleh United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Pertemuan ini bertujuan untuk mengevaluasi protocol Kyoto tahun 1997. Singkatnya protokol Kyoto berisi kesepakatan bahwa negera industri akan mengurangi emisi karbondioksida.
Ada yang aneh dalam UNFCCC itu. Amerika Serikat sebagai negara industri terbesar di dunia, sekaligus negara penyumbang gas rumah kaca terbesar di dunia enggan menandatangani kesepakatan itu. Hal ini bisa dianalisis, sebagai negara pengusung kapitalisme, AS akan melakukan apa saja untuk menjaga perekonomiannya. Jadi jelas ada motif politik disini.
Ada pula kepentingan ekonomi yang menjadikan negara berkembang sebagai korbannya. Jika diamati, teknologi ramah lingkungan kebanyakan dihasilkan oleh negara barat. Negara industri yang sudah maju. Sementara negara berkembang dijadikan pasar untuk teknologi ramah lingkungan mereka. Setelah dikambinghitamkan sebagai penyebab kerusakan lingkungan, dipaksalah negara berkembang itu untuk melakukan alih teknologi. Nah alih teknologi ini tentu tidak gratis. Ada harga mahal yang harus dibayar oleh negara berkembang untuk membeli teknologi ramah lingkungan itu. Laksana orang jatuh, tertimpa tangga pula. Inilah gambaran nasib negara berkembang saat ini. Dan Indonesia tidak lepas darinya.
Oleh karena itu diperlukan langkah strategis dari negara berkembang. Khususnya Indonesia. Jangan mau terus menjadi bulan-bulanan negara industri. Beranilah untuk sedikit menggertak. Misalnya dengan berani meminta pertanggungjawaban perusahaan asing yang telah mengenggut hak-hak alam nusantara. Membuatnya porak poranda dengan beragam alat berat yang menguras kekayaan alam Indonesia. Indonesia pun harus berani melakukan peninjauan kembali terhadap kontrak karya yang sudah ada. Contohnya di Papua. Sungguh tidak masuk akal jika Freeport yang notabenenya adalah perusahaan asing mendapatkan keuntungan hingga 90%. Sementara sisanya untuk Indonesia. Indonesia adalah negara yang berdaulat. Wilayahnya dari Sabang sampai Merauke. Disinilah kedaulatan negara teruji. Apakah tunduk pada Freeport atau mampu menentukan nasibnya sendiri?
Kalau saja solusi praktis dan strategis ini dijalankan, besar harapan hak alam akan kembali. Semesta akan lestari lagi. Dan amarah sang alam pun akan terbendung. Semoga.

Di Tiang Gantungan Cinta Suci Terikrar


Aku berdiri berkalung tali tambang. Detik mencekam menjelang eksekusi mati.
Disampingku ada Aisyah. Wanita jelita yang ku nikahi sebulan lalu. Hafalan Quranku telah menjadi maharnya. Temali tambang pun terlingkar erat di lehernya. Walaupun begitu, ia tetap terlihat mempesona berbalut jilbab hitamnya.
Ah, cintaku. Kala itu di masjid Al-Aqsha, saat engkau membersamaiku melempari tentara Israel yang mencoba menghadangku melaksanakan shalat Jumat. Berkatmu kewajiban shalatku tertunaikan. Kini aku wajib menunaikan kewajibanku. Membahagiakanmu. Walau di tiang gantungan.
“Fatih…!” Suara Gorbacev, Jendral tentara Israel, memanggilku.
“Engkau dan istrimu bisa terbebas. Syaratnya engkau harus menandatangani ini!” Ucap Gorbacev, sambil menyodorkan selembar kertas.
Aku membacanya. Sepasang mata lentik Aisyah melirik, turut membaca. Surat pernyataan bersalah.
“Suamiku, jangan perturutkan surat itu. Engkau tidak bersalah. Engkau hanya ingin menunaikan kewajibanmu pada Rabb pemilik jiwamu.”
“Suamiku, ingatkah saat kau pinang aku dan aku bertanya, apa cita-cita tertinggimu? Engkau mejawab, cita-cita tertinggimu adalah syahid di jalan Allah. Jangan pernah menyerah. Sadarlah kini engkau semakin dekat dengan impianmu!” Gerimis air matanya Aisyah semakin menjadi.
“Duhai Fatih, mengapa engkau berpikir untuk meyerah? Syahid sudah di depan mata. Syahid yang sempurna. Karena engkau akan membersamai bidadari duniamu menapaki gerbang surga. Lemparkan surat itu Fatih! Lempar!” Teriakku dalam hati. Menghardik nurani sendiri.
Aku ramas surat itu, ku lemparkan di hadapan Jendral Gorbacev.
“Telunjuk ini selalu bersyahadat disetiap shalatku. Pantang baginya untuk menyerah kalah.” Ucapku membentak Gorbacev.
“Berarti engkau lebih memilih mati?” Tanya Gorbacev Jengkel.
“Ya aku dan istriku ingin lekas bertemu dengan Rabb Sang Pengenggam jiwa kami!”
“Baiklah jika itu pilihanmu. Prajurit…tarik tali kekangnya.” Teriak Gorbacev begitu keras.
Srreeet…
Leherku terasa begitu sesak. Tercekik sakit. Kulihat Aisyah pun menahan sakit. Wajahnya mulai memucat.
“Inilah puncak cinta kita sayang! Sampai jumpa di gerbang surga.” Kataku lirih kepada Aisyah, ku genggam tangannya erat.
Kami pun bersama menyenandungkan syahadat. Sambil menunggu senyum malaikat maut.

Teduh Bumiku, Asa Hatiku


Tulisan ini berhasil menjadi esai terbaik Unhas Book Fair 2008

Kesempitan hidup semakin melilit. Kolong jembatan dipenuhi sesak warga tuna wisma. Walupun dikabarkan angka kemiskinan menurun, namun faktanya tak sulit menemukan gelandangan yang berkeliaran dan pengemis yang menegadahkan tangannya sekedar mengharap sekeping uang logam dari sang dermawan.
Apakah hanya sebatas wabah kemiskinan yang menyesakkan hati kita? Ternyata tidak. Ada isu global yang lebih memiriskan hati, karena tidak hanya mengancam kelangsungan hidup penghuni kolong jembatan, namun seluruh penghuni kolong langit, siapa pun dia. Mulai dari bayi kecil mungil yang hanya mampu merasakan panasnya dunia, sampai orang tua renta yang semakin gerah dengan tempertatur bumi yang terus naik, mereka semua terancam dengan fenomena bertajuk Global Warming (pemanasan global).
Wajar saja jika global warming telah menjadi kekhawatiran dan ketakutan global yang merembes ke seluruh pelosok dunia mulai dari negara maju bahkan sampai negara yang tergolong miskin dan tertinggal. Karena sebagian ahli dengan bukti-bukti ilmiah mampu meyakinkan masyarakat bahwa global warming lambat laun akan menghancurkan dunia dan diramalkan menjadi akhir keberlanjutan hidup bumi. Menariknya, isu global warming bukanlah isu yang baru mencuat namun isu lama yang terus menghangat seiring semakin menghangatnya bumi.
Sebenarnya menghangatnya bumi adalah fenomena yang wajar dan alamiah. Karena jika bumi tidak menghangat maka bisa dipastikan bumi akan membeku seperti pada masa ice age. Namun yang mebuat penghuni kolong langit ini khawatir adalah pemanasan bumi yang awalnya adalah merupakan peristiwa alamiah saat ini telah berubah menjadi pemanasan yang abnormal. Sehingga terjadi anomali kenaikan temperatur bumi yang sangat mengkhawatirkan.
Hasil temuan sebuah lembaga panel internasional, Intergovermental Panel and Climate Change (IPCC) yang beranggotakan lebih dari 100 negara di seluruh dunia, menyatakan bahwa pada tahun 2005 terjadi peningkatan suhu di dunia 0,6-0,70 derajat, bahkan dia Asia sampai mencapai 1,0 derat. Walaupun kenaikannya terkesan tidak terlalu signifikan, ternyata telah mampu membuat ketersediaan air di negeri-negeri tropis berkurang 10 hingga 30 persen.
Jika negeri tropis berkurang cadangan airnya, lain halnya dengan Benua Afrika. Disana justru diramalkan permukaan air laut akan naik 4 sampai 6 meter akibat  melelehnya Gleser (gunung es) di Himalaya dan Kutub Selatan. Bahkan jika meleh seluruhnya, mampu meningkatkan permukaan air laut sekitar 7 meter pada tahun 2012. Bahkan 30 tahun ke depan akan menyebabkan tenggelamnya sebagian pesisir pantai dan akan menyebabkan kegagalan panen dimana-mana yang berujung pada kelangkaan pangan. Bukan tidak mungkin, busung lapar menjadi penyakit yang menjangkiti mayoritas penduduk dunia. Dengan terus meningginya permukaan laut akan banyak pulau yang hilang terendam air dan begitu pula kawasan tepi laut pun terendam. Jika ini terjadi, pulau-pulau kecil di Nusantara dan kehidupan budaya pesisir hanya akan menjadi romantsime sejarah masa lalu.
Selain itu, pemanasan global juga menyebabkan adanya ketidakteraturan sirkulasi Iklim. Mungkin dulu kita bisa meramalakan kapan saja musim hujan dan kemarau. musim kemarau misalnya terjadi antara bulan April hingga Oktober, dan musin penghujan dari Oktober hingga April. Namun saat ini akibat pengaruh pemanasan global, sirkulasi iklim menjadi terganggu. Jika kita teliti mengamati,sering terjadi musim panas yang berkepanjangan, curah hujan yang terlalu deras, gelombang laut yang tinggi, sampai naiknya permukaan air laut. Hujan lebat masih turun disertai angin kencang hingga Juni, akhirnya muncul istilah “kemarau basah”, istilah yang terkesan lucu.
Fenomena global warming ternyata mampu menimbulkan efek domino yang juga mempengaruhi sektor kesehatan. Akibat terus meningkatnya suhu, banyak wabah penyakit endemik lama dan baru yang bermunculan. Misalnya leptopirosis, demam berdarah, diare, malaria. Seharusnya penyakit-penyakit tersebut telah lewat dan mampu ditangani, namun ternyata banyak masyarakat yang terinfeksi bahkan ada yang sampai harus meregang nyawa.
Bukan hanya sektor lingkungan dan kesehatan yang terpengaruh, namun global warming juga dapat mempengaruhi kestabilan politik antar negara tetangga. Jika air laut naik, maka daratan akan tenggelam. Jika daratan yang hilang tersebut adalah daratan yang dijadikan sebagai acuan batas negara, maka akan menyebabkan persengketaan akibat batas negaranya hilang. Untuk negara kepulauan seperti Indonesia dengan batas laut yang kritis dengan beberapa negara, hilangnya sebuah pulau terluar bisa berakibat ribuan kilometer persegi wilayah kedaulatan laut baik itu laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif atau Landas Kontinen dapat tiba-tiba hilang.
Secara umum dampak yang dirasakan oleh seluruh dunia saat ini adalah makin panjangnya musim panas dan makin pendeknya musim hujan, selain itu makin maraknya badai dan banjir di kota-kota besar (el Nino) di seluruh dunia. Serta meningkatnya cuaca secara ekstrim, yang tentunya sangat dirasakan di negara-negara tropis. Jika ini kita kaitkan dengan wilayah Indonesia tentu sangat terasa, begitu juga dengan kota-kota yang dulunya dikenal sejuk dan dingin makin hari makin panas saja.
Merujuk pada logika kausalitas (sebab-akibat), ternjadinya fenomena global warming tentu memiliki faktor pemicu dan tidak mungkin terjadi dengan sendirinya. Menurut laporan beberapa ahli, bumi kita ini telah mengalami kerusakan yang begitu parah dan menuju pada akhir sejarah. Ancaman yang sedahsyat ini tidak mungkin terjadi secara kebetulan, namun memiliki rentetan panjang kronologis kejadian, yang harus diurai dan dirumuskan formula jitu untuk menyelesaikan permasalahan global warming yang semakin mengancam.
Salah satu penyebabnya adalah berkembangnya industri yang memicu miningkatnya emisi karbon. akibat penggunaan energi fosil (bahan bakar minyak, batubara dan sejenisnya, yang tidak dapat diperbarui).
Emisi karbon ini menyebabkan terbentuknya gas rumah kaca, yang dikenal sebagai satu efek dimana molekul-molekul yang berada di atmosfer seperti memberikan efek seperti pada rumah kaca. Sebenarnya efek rumah kaca ini tak bisa dihindari, karena merupakan hal yang terjadi secara alamiah. Efek rumah kaca inilah yang menjaga agar temperatur bumi selalu tetap pada kisaran 30 derajat Celsius. Karena kalau tidak, kehidupan di dunia tidak dapat berlangsung.
Terbentuknya efek rumah kaca adalah suatu keniscayaan. Penelitian pada tahun 1820 oleh Fourier, ditemukan bahwa atmosfer sangat bisa diterobos oleh cahaya matahari. Tetapi tidak semua cahaya matahari yang dipancarkan ke permukaan bumi dapat dipantulkan seluruhnya. Radiasi infra merah misalnya, ternyata tidak bisa dipantulkan keluar, melainkan terjebak didalam atmosfer yang akhirnya mampu menghangatkan bumi.
Namun kondisi kekinian, efek rumah kaca yang sebenarnya alamiah akibat campur tangan manusia, efek ini menjadi efek yang abnormal, sehingga bukannya menjaga bumi agar tetap hangat pada temperatur normal, tapi menyebabkan bumi terus bertambah hangat melampau batas ambang normal. Jadi sebenarnya manusia adalah komponen alam yang paling bertanggung jawab terhadap kenaikan suhu  global. Karena dari aktivitas manusialah emisi karbon meningkat drastis, semenjak revolusi industri.
Global warming dengan efek rumah kacanya, harus mendapat penanganan serius. Jika tidak maka dampak yang telah terjadi akan terakumulasi dan menjadi bom waktu yang akan meledak sewaktu-waktu. Sebelum semuanya meledak dan menyebabkan penderitaan massal dikalangan umat manusia, maka usaha untuk menanggulangi pemanasan global menjadi mendesak dan harus segera dilakukan.

Solusi Praktis
Solusi penanggulangan global warming dapat dilakukan dengan menempuh dua pendekatan solusi, yaitu solusi yang bersifat praktis dan strategis. Solusi praktis yang bisa langsung dilakukan adalah :

Konsumsi Pangan Ramah Lingkungan
Pola konsumsi pangan yang paling ramah lingkungan adalah pola konsumsi vegetarian. Dan ternyata energi yang didapat jika langsung mengkonsumsi nutrisi nabati adalah tujuh kali lipat lebih tinggi dari pada jika nutrisi nabati diberikan pada ternak, kemudian kita mengkonsumsi daging ternaknya.
Masalah lain yang ditimbulkan oleh konsumsi pangan adalah limbah kemasan produk. Makanan kemasan memang praktis dan lebih awet. Namun sering digunakan kemasan yang tidak ramah lingkungan. Sehingga lingkungan semakin cepat rusak akibat banyaknya sampah kemasan makanan yang tidak dapat di uraikan.
Rusaknya ekosistem alam akibat bertebarannya sampah anorganik yang tidak dapat teruraikan, akan berdampak langsung terhadap rusaknya kualitas vegetasi. Padahal vegetasi adalah salah satu penyumbang oksigen terbesar yang akan mampu mengurangi efek rumah kaca dan menurunkan resiko terjadinya global warming.


Pemanfaatan Energi Ramah Lingkungan
Energi paling ramah lingkungan adalah energi matahari. Dan sebenarnya banyak aktitvitas manusia yang masih bisa memanfaatkan energi matahari. Misalnya untuk mengeringkan pakaian, cukup dengan menggunakan energi matahari, tak perlu menggunakan mesin pengering yang menghabiskan energi lebih banyak. Atau untuk menghangatkan air, cukup dengan menjemurnya diterik matahari. Kalaupun diinginkan dalam jumlah besar dengan tingkat panas yang lebih tinggi, bisa menggunakan solar-collector lengkap dengan tankinya. Teknologinya sederhana dan murah, namun dapat menghemat listrik dan gas, terutama untuk usaha perhotelan.
Contoh yang lain misalnya dengan mensiasati penggunaan AC (Air Conditioner), yang pada beberapa produk tidak ramah lingkungan karena menghasilkan gas CFC yang merusak ozon. Langkah praktis yang bisa ditempuh, misalnya dengan mendesain gedung-gedung dengan ventilasi yang baik sehingga mampu menghemat penerangan dan pendingin udara. Di Indonesia misalnya gaya berpakaian pada acara-acara resmi adalah menggunakan jas dan dasi, lantas agar tidak kegerahan AC diatur ke suhu yang sangat dingin. Maka semakin banyaklah gas CFC yang dihasilkan dan semakin rusaklah kondisi udara. Usaha untuk mengatasi global warming akan semakin sulit.
Kita harus mencontoh orang di Thailand dan Filipina yang mengatur seragam dinas pegawainya dengan baju kaos berkerah. Atau orang Jepang dan Jerman yang sudah mengembangkan eco-house yang mampu membuat rumah ramah lingkungan. Dinding luar berselimut tanaman rambat, atap berlapis solar panel, aliran air pemanas ruangan dapat dipakai mandi. Septic-tank yang menghasilkan gas methan dapat digunakan menambah energi untuk dapur.

Transportasi Ramah Lingkungan
Salah satu penyumbang emisi karbondioksida terbesar adalah gas buangan kendaraan bermotor. Jika menggunakan alat transportasi yang lebih ramah lingkungan maka dampak efek rumah kaca dapat diatasi atau minimal dikurangi.
Alat transportasi yang paling ramah lingkungan adalah sepeda. Jika ingin alat yang lebih canggih, saat ini telah dikembangkan sepeda dengan sumber energi berasal dari solar panel untuk menyerap energi matahari dan konon dapat menempuh jarak ribuan kilometer. Kalaupun harus membawa beban yang lebih banyak, becak dan pedati dapat menjadi pilihan bijak. Atau jika bawaan dalam jumlah banyak dan jarak yang relatif jauh, silakan memilih kereta api listrik.
Di laut juga dapat dikembangkan kapal yang ramah lingkungan dengan emisi karbon yang sangat kecil. Kapal ramah lingkungan saat ini telah banyak yang menggunkan layar mekanis. Layar ini dapat dikembangkan secara otomatis jika kecepatan angin menguntungkan. Penggunaan angin dapat menghemat bahan bakar sampai 50 %. Artinya emisi karbon pun berkurang.

Efektifitas Sarana Komunikasi dan Informasi
Kehidupan manusia dari waktu ke waktu semakin dinamis, sehingga menuntut tingkat mobilisasi yang tinggi. Agar mobilitas manusia semakin efektif dan efesien, maka diperlukan moda transportasi. Baik itu sarana transportasi milik pribadi atau umum. Hal ini tentu bedampak meningkatnya gas karbon yang semakin menebalkan lapisan rumah kaca. Walhasil hawa bumi akan semakin panas.
Jika sarana komunikasi diefektifkan maka mobilitas manusia mampu ditekan, pengembangan teknologi komunikasi akan mengurangi kebutuhan transportasi. Selain itu media elektronik adalah media yang sangat ramah lingkungan. Informasi tidak lagi disebarkan melalui kertas sehingga mengurangi jumlah pohon yang harus ditebang. Bila di Indonesia penerbit berlomba-lomba menggunakan kertas putih untuk mencetak buku agar terkesan lux, diluar negeri justru dikembangkan kertas daur ulang. Konon untuk mencetak novel Harry Potter 7, sampai dikembangkan 32 jenis kertas daur ulang. Penerbit di Kanada menggunakan 100 % kertas daur ulang. Upaya ini ternyata telah membuat edisi bahasa Inggris novel ini menghemat penebangan 200 ribu pohon dan 8 juta gas rumah kaca.

Solusi Strategis
Selain menggagas solusi yang sifatnya praktis, kita pun harus merumuskan solusi yang sifatnya strategis. Karena pengopinian isu global warming tidak semata-mata bermuatan tujuan luhur penyelamatan lingkungan. Namun ada unsure kepentingan politik dan bisnis dibalik isu tersebut. Jadi permasalah global warming tidak akan pernah terselesaikan secara tuntas jika kita hanya menggunakan solusi teknis/praktis untuk menyelesaikannya. Karena solusi praktis lebih pada solusi yang sifatnya tambal sulam dan parsial. Oleh karena itu harus didukung dengan solusi strategis yang sifatnya menyelesaikan masalah secara fundamental.
Adanya kepentingan politik terlihat pada pertemuan tingkat tinggi yang diadakan oleh United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Tujuan pertemuan ini adalah untuk mengevaluasi protokol Kyoto yang telah disepakati pada tahun 1997. Protokol Kyoto adalah kesepakatan yang telah dinegosiasikan di Kyoto yang merupakan persetujuan sah dimana negara-negara perindustrian akan mengurangi emisi karbondioksida dan gas-gas rumah kaca lainnya.
Namun Amerika Serikat (AS), sebagai negara industri terbesar dunia sekaligus salah satu negara penyumbang gas rumah kaca terbesar dunia, telah menolak menandatangani protokol tersebut. Hal ini wajar terjadi karena sebagai negara pengusung kapitalisme terkuat di dunia, AS akan melakukan apapun untuk membela kepentingan ekonominya, walaupun tindakan tersebut akan mendapatkan kecaman dari masyarakat dunia. Dalam pandangan kapitalisme, tindakan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dari eksploitasi sumberdaya alam jauh lebih penting walaupun harus mengorbankan kepentingan orang lain. Inilah paradigma mendasar ideologi kapitalisme.
Riset telah membuktikan bahwa negara industri seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, Itali, Rusia, Jepang dan Kanada merupakan negara-negara penghasil gas rumah kaca terbesar, sehingga merupakan negara yang paling bertanggung jawab terhadap tragedi global warming. Untuk mengalihkan citra negatif ini yang terlanjur melekat pada negara-negara tersebut, mereka menuduh negara-negara berkembang yang memiliki hutan luas, seperti Indonesia dan Brasil harus ikut bertanggung jawab terhadap terjadinya global warming akibat praktek penebangan hutan di negaranya. Namun ternyata penebangan hutan besar-besaran adalah untuk diimpor atas pesanan negara industri.
Bagaimanapun negara industri tersebut membutuhkan bahan mentah, sementara negara mereka tergolong negara yang tidak memiliki kekayaan alam. Di Eropa hampir 80% hutannya telah rusak, karena hujan asam akibat aktivitas industri. Sebanyak 20 persen penduduk terkaya dunia bertanggung jawab terhadap lebih dari 60 bahkan sampai 80 persen emisi gas saat ini. Rata-rata emisi orang Amerika Serikat sebanding dengan 9 orang Cina dan 18 orang India dan tingkat penggunaan bahan bakar fosil 8 kali lipat penduduk di negara berkembang.
Inilah bukti kentalnya konspirasi politik negara industri untuk “mengkambinghitamkan” negara berkembang sebagai negara yang peling bertanggung jawab terhadap fenomena global warming. Padahal sejatinya negara industrilah penyumbang gas emisi terbesar dunia.
Selain itu motif ekonomi pun sangat terasa dibalik isu global warming. Sebenarnya sudah banyak negara berkembang yang bisa menjadi negara yang ramah lingkungan, tanpa harus menunggu adanya transfer teknologi dari negara maju (industri). Karena umumnya transfer teknologi dari negara maju disertai dengan beberapa syarat politis dan ekonomi yang berbau imperialisme gaya baru. Teknologi yang telah ditemukan kemudian dipatenkan dan hak patennya dijual dengan harga yang tak terjangkau oleh negara berkembang. Akhirnya negara berkembang terus menjadi sasaran fitnah negara-negara industri sebagai negara yang tidak ramah lingkungan.
Oleh karena itu langkah strategis dari negara dunia ketiga (negara berkembang) adalah berusaha untuk bersatu dan merumuskan konsep politik alternatif dan meninggalkan konsep politik dan ekonomi yang berlaku sekarang, karena telah terbukti tidak mampu mensejahterakan justru malah membuat negara berkembang semakin menderita.
Sebenarnya sangat mudah jika negara berkembang, termasuk Indonesia, mau bersatu dan melakukan perlawanan terhadap sistem perpolitikan dan ekonomi yang sangat tidak adil saat ini. Nadi kehidupan dunia sebenarnya dipegang oleh negara berkembang, karena sebagian besar kekayaan alam dunia terdapat di perut bumi negara-negara berkembang bukan negara industri. Yang diperlukan saat ini adalah nyali dari pemerintah negara berkembang untuk melakukan sedikit perlawanan dan berani memberontak melepaskan diri dari belenggu neo-kolonialisme yang sementara menghegemoni dunia.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More