Syariat Islam dan Masyarakat Non Muslim

Banyak yang takut jika syariat Islam tegak. Non muslim diantaranya. Padahal sejarah telah membuktikan jika Islam pun menjamin kehidupan mereka.

Pendidikan Berbasis Syariat Islam

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Adi Wijaya - Sang Penjaga Altar Kemenangan

Sebuah pengabadian karya dari seorang penulis muda yang terus berkarya dan berbenah diri.

KUMPULAN TULISAN

Temukan jejak karya, opini, artikel,esai juga cerpen. Menulis untuk mengukir peradaban mulia.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 07 Mei 2012

Sepatu Mimpi


Ini ada cerita haru yang mungkin juga terselipi lucu. Asal kisahnya dari tanah tertimur Nusantara, Papua. Di suatu lembah, yang dikelilingi Pegunungan Jayawijaya nun tinggi menjulang dan melingkar, serupa cincin raksasa. Bila tak gerimis, paginya sering terselimuti embun halus. Sang surya seolah tak kuasa menyinarkan kehangatannya. Kalah bersaing dengan dinginnya tetasan embun. Lembah Baliem nama tempat itu. Untuk yang baru pertama kali memijakinya, bersiaplah raga menggigil kedinginan. Sampai ada yang enggan mandi tiga hari.
Namun tak begitu dengan segerombolan anak sekolah. Riang sekali jiwanya, berseri-seri wajahnya. Berseragam putih biru. Ini pertanda kuat, mereka murid sekolah menengah pertama. Dari segerombolan itu, ada yang paling riang. Ia berlari berjingkat-jingkat. Sesekali melompat, seperti ada yang ingin ia hindari. Benar saja, teman-temannya yang lain sementara mengusilinya. Merayakan ritual peresmian sepatu baru. Ya, ini ritual wajib, bila ada siswa bersepatu baru. Sepatunya akan diinjak sejadi-jadinya. Empunya sepatu, pasti sibuk menghindar diri. Siapa sih yang rela, sepatu baru sehari dipakai, mulus dan bersih lagi, harus dinjak-injak. Panggil saja dia Albert Haluk, siswa paling periang yang bersepatu baru itu. Sejak tadi sibuk melompat, seperti menari-nari. Menghindari injakan, ke kiri ke kanan.
Sebenarnya ada sedih membentur dinding hati. Ketika melihat keseharian Albert Haluk. Apalagi sebelum ia memiliki sepatu baru. Tampilannya sungguh sederhana. Berseragam kemeja putih yang mulai lusuh lagi menguning. Sebab termakan usia. Kancing atas kemejanya lepas. Membuat leher hitammnya yang kerempeng, mudah terlihat. Mengkilap bila terterpa cahaya dan terlumuri keringat. Arahkan pandangan ke arah kakinya. Ada sepasang sepatu yang jahitannya mulai lepas satu-satu. Ujung depan sepatunya mulai menganga. Kata anak Lemba Baliem, sepatunya sudah “minta makan.” Cukup lebar ngangaan itu. Membuat jempol kakinya, menyembul keluar. Syukurlah, kini semua tinggal kenangan. Karena sudah ada sepatu baru yang menggantikannya.
Ritual peresmian sepatu baru, hanya heboh sehari saja. Keesokan harinya semua berjalan seperti biasa. Seolah tak ada apa-apa. Akan tetapi hari itu ada perkara aneh. Albert datang bertelanjang kaki. Terlihat betul kaki kekarnya yang lebar. Kakinya orang gunung memang begitu, besar dan lebar. Sepatu ukuran 44 pun terkadang masih terasa sempit. Ujung jari jemarinya merenggang, serupa kipas kain yang dikembangkan. Aneh juga melihat tingkahnya hari ini. Apakah sepatunya sudah rusak,karena ritual peresmian kemarin? Ah mudah-mudahan tidak. Karena bila itu terjadi, akulah orang yang merasa paling bersalah. Kemarin aku injak dia dengan sekuat tenaga. Membuat wajahnya meringis menahan sakit.
“Mana sepatu barunya? Rusak?”
“Ada. Sepatu baru baik-baik saja.” Albert menjawab dengan wajah sumringah. Padahal aku tahu, ia baru saja menempuh jalan yang cukup panjang. Menembus belantara dengan semak-semak tajam. Bila menggores kaki tentu perih rasanya. Aku pun tahu, dengan kaki telanjangnya itu ia tapaki jalan kerikul berbatu. Bila tak hati-hati, tentu akan mengiris kaki.
Pelan-pelan Albert membuka tas ransel, yang reslitingnya mulai rusak. Jelas sekali ada serbuk-serbuk lilin di sepanjang resliting tasnya. Begitulah cara kami memperbaiki resliting tas yang mulai rusak. Mengolesinya dengan batangan lilin. Dan memang berhasil. Resliting kembali merekat kuat.
Albert menarik sepasang benda, yang ternyata itu adalah sepatu barunya. Ia kibas-kibaskan kaos kaki tua, ujungnya mulai ada cela. Beberapa minggu lagi pasti akan membentuk lubang.
“Mengapa tak dipakai sepatunya?” tanyaku, selidik ingin tahu.
Albert mengulum senyum, sembari dengan entengnya ia berkata, “Kamu tahu kan, jarak rumahku ke sekolah sangatlah jauh. Jalan yang dilalui pun sangat menantang. Ada rindang semak belukar, jalan tak beraspal yang berkerikil tajam. Tambah lagi harus menyeberangi sungai tak berjembatan, yang air kini meluap. Bila sepatu ini aku pakai, bisa tak panjang umurnya. Cepat rusak. Sementara bila harus membeli lagi, darimana uangku dapat? Orang tuaku hanya petani hipere (sejenis ubi jalar yang berasa manis. Makanan pokok penduduk Lembah Baliem).
Hati terenyuh mendengar alasan itu.
“Aku melakukan ini semua, karena aku punya impian besar.” Albert kembali berkata-kata tanpa ditanya. Kerlingan matanya berbinar-binar. Menunjukkan ada cita-cita raksasa yang bersemayam dalam hatinya.
“Impian apa itu?”
“Aku ingin menjadi pengusaha.” Kalimatnya terhenti. Matanya menerawang ke langit-langit kelas. Seolah dia telah menatap jelas, ada impiannya tergantung di sana. “Kelak aku akan menjadi pengusaha pemilik pabrik sepatu. Akan aku buat sepatu ukuran besar, agar anak Lembah Baliem tak sulit mencari sepatu. Mungkin ukuran 45 dan 46. Dan tentunya kuat. Tahan disegala medan.”
Sebagai sahabat yang baik, aku hanya berucap, “Amin.” Semoga kelak, impian itu segera menjadi nyata.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More