Selasa, 17 Januari 2012

Hati-Hati "Ulama Su" Bergentayangan


Dimuat di Harian Tribun Timur Makassar.

Lebih dari 1400 tahun Islam telah eksis di muka bumi dan berhasil menunjukkan kegemilangan peradabannya. Keberhasilan ini tak bisa lepas dari peran ulama-ulama brilliant yang begitu gigih pantang menyerah menyebarkan Islam hingga pelosok terpencil dunia sekalipun.
Memang dalam perspektif Islam, ulama dianggap sebagai entitas yang sangat vital peranannya. Sejarah Islam masa lalu telah mencatat prestasi gemilang ulama yang mampu memberikan konstribusi langsung terhadap kemajuan peradaban Islam. Oleh Imam Ghazali, ulama tempo dulu digambarkan sebagai komunitas yang selalu kritis dan mengawal dan mengoreksi penguasa untuk menerapkan hukum Allah. Mereka mengikhlaskan niat dan pernyataan mereka membekas dihati umat.
Pada awal kemunculannya dimuka bumi sebagai rahmatan lil alamin, Islam lewat tangan Rasulullah saw., telah mampu mencetak ulama besar, sekaliber Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan Sahabat Nabi lainnya. Sejarah terus bergulir, ribuan ulama besar terus bermunculan. Mereka tidak hanya ahli dalam khazanah ilmu Islam, namun mereka juga menjadi garda terdepan dalam perjuangan menegakkan kalimat Allah, walaupun harus berhadapan langsung dengan penguasa dhzalim pada masanya, mereka tak takut untuk dijebloskan ke penjara, bahkan ada diantaranya yang harus menerima siksaan fisik.
Sejarah pun telah mencatat peran aktif ulama untuk mewujudkan transformasi sosial ke arah kehidupan yang lebih baik. Sejak dulu ulama memiliki peranan dalam berbagai peristiwa penting. Bahkan nyaris tak ada satupun perubahan besar dalam sejarah peradaban Islam yang tidak melibatkan peran ulama. Tidak perlu jauh-jauh mengambil contoh dari jazirah Arab, terwujudnya kemerdekaan Indonesia adalah bukti jasa besar ulama masa lalu.
Pada tahun 1404 berangkatlah sembilan ulama dari berbagai tempat di wilayah daulah khilafah atas titah dari Sultan Muhammad Jalabi yang diutus ke tanah Jawa untuk berdakwah. Oleh masyarakat Indonesia mereka lebih dikenal dengan julukan “wali songo”.
Ketika terjadi penjajahan di Nusantara para ulama pun ikut berjuang mengusir penjajah. Sebut saja ulama tersohor asal Minangkabau, Tuanku Imam Bonjol yang telah memimpin Perang Paderi. Di Jawa misalnya, Pangeran Diponegoro mampu tampil sebagai ulama handal sekaligus panglima jihad yang telah mampu mengobarkan semagat perlawan kaum muslimin untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan Belanda. Atau di Makassar, ada Sultan Hasanuddin yang juga tak kalah gigihnya melawan eksistensi penjajah saat itu.
Namun sayang sejarah emas ulama tempo dulu, belum mampu terlihat saat ini. Jangankan untuk melahirkan ulama tangguh, standarisasi seorang individu muslim untuk mumpuni digelari ulama saat ini pun tidak jelas. Jika kita bertanya berapa doktor atau profesor yang dimiliki oleh bangsa ini? Mungkin secara kuantitatif pertenyaan tersebut tidak sulit dijawab, karena definisi koktor dan profesor telah jelas. Namun bagaimana jika pertanyaannya adalah berapa jumlah ulama yang ada di Indonesia? Tentunya tidak mudah untuk dijawab. Apakah sebanyak lulusan pesantren? Tentu saja tidak. Karena banyak jebolan pesantren yang tidak nyaman disebut sebagai ulama.
Terlepas dari ketidakjelasan definisi dan kriteria ulama, saat ini sadar atau tidak peran ulama telah dimandulkan. Wilayah kerja ulama hanya dibatasi pada serambi-serambi mesjid dan tidak mempunyai otoritas untuk mengatur wilayah sosial umat. Silakan ulama mencerdaskan umat dalam perkara thaharah (bersuci), shalat dan berzakat namun ulama tidak perlu menyentuh wilayah politik, ekonomi, atau pemerintahan. Akhirnya peran ulama termarjinalkan. Jika diundang ke forum-forum yang membicarakan wacana sosial, ekonomi, politik dan pemerintahan, ulama hadir hanya sebagai penggembira dan pembaca doa di akhir acara. Mereka tidak lagi dipandang sebagai komunitas yang mampu tampil sebagai “problem solver” yang mengusung Islam sebagai satu-satunya solusi. Padahal konsep politik, ekonomi dan pemerintahan dalan perspektif Islam adalah konsep terbaik yang telah terbukti secara historis dan ilmiah.
Jika dulu ulama begitu garang dan kritis menjadi pengoreksi dan pengawal pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan, namun saat ini peran vital tersebut seolah tidak dijalankan lagi. Ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan Islam, suara protes ulama begitu langka terdengar. Sirnanya ketangguhan ulama semakin terlihat ketika kewibawaan ulama semakin luntur dimata pemerintah dan masyarakat. Lihat saja bagaimana ketika ulama mengeluarkan fatwa terkait keharaman paham sekularisme, pluralisme dan liberalisme. Fatwa tersebut hanya dianggap sebagai angin lalu. Bahkan paham yang telah dinyatakan sesat tersebut semakin mewabah.
Kemandulan peran ulama semakin diperparah dengan menjamurnya ulama yang menghancurkan umat. Ulama inilah yang sering dijuluki sebagai ulama su’. Secara bahasa ulama su’ diartikan sebagai ulama yang jahat. Umat Islam harus berhati-hati dan bersikap kritis karena sepak terjang ulama su’ sangat sulit dibedakan dengan ulama tulen yang ikhlas memperjuangkan Islam.
Ulama su’ menyebarkan pemikiran kufurnya dan mebalutnya dengan dalil Quran dan hadits Rasulullah. Jadi konsep yang sebenarnya adalah pemikiran kufur seolah menjadi pemikiran Islam. Selain itu ulama su adalah sosok ulama yang sengaja diopinikan oleh beberapa oknum media yang tidak pro dengan Islam. Maka jangan kaget jika ketenaran ulama su melebihi ulama sejati. Sebut saja seorang ulama su’ yang bergelar doktor tanpa malu-malu menghalalkan perkawinan beda agama, bahkan yang lebih mencengangkan Ia menghalalkan pernikahan sesame jenis (homoseksual dan lesbian).
Agenda lain yang sering dikampayekan oleh ulama su’ adalah sekularisasi Islam. Mereka mencoba meracuni pemikiran kaum muslimin dengan melakukan pemisahan antara kehidupan dunia dan konsep Islam. Mereka menganggap Islam dipakai hanya pada tataran pengaturan hubungan manusia dengan Allah swt. Namun untuk mengatur ranah sosial aturan yang digunakan adalah hukum positif yang berlaku walaupun bertentangan dengan syariat Islam. Maka muncullah konsep-konsep nyeleneh seperti “Islam tidak punya konsep tentang pemerintahan” atau “negara tidak wajib menerapkan syariat Islam”. Untuk memperkuat argumennya digunakanlah Ayat Al-Quran yang telah ditafsirkan dan diputarbalikkan sekehendak hatinya.
Ulama su’ juga sering dimanfaatkan untuk menyuarakan kepentingan dan kebijakan asing. Saat isu perang melawan terorisme yang merupakan agenda asing, mereka pun dipakai. Melalui ceramah dan khutbah ulama su’ umat Islam coba dipecah belah dengan cara mengelompokkannya menjadi Islam moderat-radikal, liberal-fundamentalis, tekstual-kontekstual. Jika umat Islam sudah terkotak-kotakkan, maka akan sangat mudah dipecahbelah. Jihad yang menjadi salah satu elemen syariat Islam dipersempit maknanya hanya pada pengertian bahasa. Sementara makana syar’I yaitu berperang dijalan Allah dianggap sebagai sebuah kejahatan.
Ketika muncul fenomena pernikahan dini dan poligami, ulama su’ tampil bagaikan pahlawan yang tegas menolak dengan alasan melindungi kehormatan kaum muslimah. Namun dimanakah pembelaan ulama su’ ketika kaum muslimah dilarang menggunakan jilbab?
Ironisnya sebagian kaum muslimin seolah terhipnotis oleh pemikiran kufur karena yang menfatwakan adalah orang yang terlanjur digelari “ulama”. Sementara ulama sejati yang ikhlas memperjuankan Islam dianggap sebagai ulama yang harus diwaspadai karena mengajarkan paham Islam radikal.
Kaum muslimin harus berhati-hati karena populasi ulama su’ semakin meningkat dan sementara bergentayangan menyebarkan paham sesatnya. Mempelajari Islam secara kaffah dan murni mulai dari konsep tauhid, ekonomi, bahkan sampai konsep negara dan pemerintahan adalah solusi praktis yang dapat dilakukan.
Umat Islam harus semakin kritis mengenali ulamanya sendiri. Dari segi penampilan fisik ulama su’ dan ulama sejati nyaris sama dan tidak dapat dibedakan, namun mereka hanya mampu dibedakan dari pemikiran yang diembannya. Boleh jadi tanpa disadari ulama su’ saat ini sering berdiri dimimbar masjid kita, waspadalah!

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More