Dimuat di Harian Tribun Timur Makassar.
Lebih dari 1400 tahun Islam telah eksis di muka
bumi dan berhasil menunjukkan kegemilangan peradabannya. Keberhasilan ini tak
bisa lepas dari peran ulama-ulama brilliant
yang begitu gigih pantang menyerah menyebarkan Islam hingga pelosok terpencil
dunia sekalipun.
Memang dalam perspektif Islam, ulama dianggap
sebagai entitas yang sangat vital peranannya. Sejarah Islam masa lalu telah
mencatat prestasi gemilang ulama yang mampu memberikan konstribusi langsung
terhadap kemajuan peradaban Islam. Oleh Imam Ghazali, ulama tempo dulu
digambarkan sebagai komunitas yang selalu kritis dan mengawal dan mengoreksi
penguasa untuk menerapkan hukum Allah. Mereka mengikhlaskan niat dan pernyataan
mereka membekas dihati umat.
Pada awal kemunculannya dimuka bumi sebagai
rahmatan lil alamin, Islam lewat tangan Rasulullah saw., telah mampu mencetak
ulama besar, sekaliber Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan Sahabat Nabi lainnya.
Sejarah terus bergulir, ribuan ulama besar terus bermunculan. Mereka tidak
hanya ahli dalam khazanah ilmu Islam, namun mereka juga menjadi garda terdepan
dalam perjuangan menegakkan kalimat Allah, walaupun harus berhadapan langsung
dengan penguasa dhzalim pada masanya, mereka tak takut untuk dijebloskan ke
penjara, bahkan ada diantaranya yang harus menerima siksaan fisik.
Sejarah pun telah mencatat peran aktif ulama untuk
mewujudkan transformasi sosial ke arah kehidupan yang lebih baik. Sejak dulu
ulama memiliki peranan dalam berbagai peristiwa penting. Bahkan nyaris tak ada
satupun perubahan besar dalam sejarah peradaban Islam yang tidak melibatkan
peran ulama. Tidak perlu jauh-jauh mengambil contoh dari jazirah Arab,
terwujudnya kemerdekaan Indonesia adalah bukti jasa besar ulama masa lalu.
Pada tahun 1404 berangkatlah sembilan ulama dari
berbagai tempat di wilayah daulah khilafah atas titah dari Sultan Muhammad
Jalabi yang diutus ke tanah Jawa untuk berdakwah. Oleh masyarakat Indonesia
mereka lebih dikenal dengan julukan “wali
songo”.
Ketika terjadi penjajahan di Nusantara para ulama
pun ikut berjuang mengusir penjajah. Sebut saja ulama tersohor asal
Minangkabau, Tuanku Imam Bonjol yang telah memimpin Perang Paderi. Di Jawa
misalnya, Pangeran Diponegoro mampu tampil sebagai ulama handal sekaligus
panglima jihad yang telah mampu mengobarkan semagat perlawan kaum muslimin
untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan Belanda. Atau di Makassar, ada
Sultan Hasanuddin yang juga tak kalah gigihnya melawan eksistensi penjajah saat
itu.
Namun sayang sejarah emas ulama tempo dulu, belum
mampu terlihat saat ini. Jangankan untuk melahirkan ulama tangguh, standarisasi
seorang individu muslim untuk mumpuni digelari ulama saat ini pun tidak jelas.
Jika kita bertanya berapa doktor atau profesor yang dimiliki oleh bangsa ini?
Mungkin secara kuantitatif pertenyaan tersebut tidak sulit dijawab, karena
definisi koktor dan profesor telah jelas. Namun bagaimana jika pertanyaannya
adalah berapa jumlah ulama yang ada di Indonesia? Tentunya tidak mudah untuk
dijawab. Apakah sebanyak lulusan pesantren? Tentu saja tidak. Karena banyak
jebolan pesantren yang tidak nyaman disebut sebagai ulama.
Terlepas dari ketidakjelasan definisi dan kriteria
ulama, saat ini sadar atau tidak peran ulama telah dimandulkan. Wilayah kerja
ulama hanya dibatasi pada serambi-serambi mesjid dan tidak mempunyai otoritas
untuk mengatur wilayah sosial umat. Silakan ulama mencerdaskan umat dalam
perkara thaharah (bersuci), shalat dan berzakat namun ulama tidak perlu
menyentuh wilayah politik, ekonomi, atau pemerintahan. Akhirnya peran ulama
termarjinalkan. Jika diundang ke forum-forum yang membicarakan wacana sosial,
ekonomi, politik dan pemerintahan, ulama hadir hanya sebagai penggembira dan
pembaca doa di akhir acara. Mereka tidak lagi dipandang sebagai komunitas yang
mampu tampil sebagai “problem solver” yang mengusung Islam sebagai satu-satunya
solusi. Padahal konsep politik, ekonomi dan pemerintahan dalan perspektif Islam
adalah konsep terbaik yang telah terbukti secara historis dan ilmiah.
Jika dulu ulama begitu garang dan kritis menjadi
pengoreksi dan pengawal pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan, namun
saat ini peran vital tersebut seolah tidak dijalankan lagi. Ketika pemerintah
mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan Islam, suara protes ulama
begitu langka terdengar. Sirnanya ketangguhan ulama semakin terlihat ketika
kewibawaan ulama semakin luntur dimata pemerintah dan masyarakat. Lihat saja
bagaimana ketika ulama mengeluarkan fatwa terkait keharaman paham sekularisme,
pluralisme dan liberalisme. Fatwa tersebut hanya dianggap sebagai angin lalu. Bahkan
paham yang telah dinyatakan sesat tersebut semakin mewabah.
Kemandulan peran ulama semakin diperparah dengan
menjamurnya ulama yang menghancurkan umat. Ulama inilah yang sering dijuluki
sebagai ulama su’. Secara bahasa ulama su’ diartikan sebagai ulama yang jahat.
Umat Islam harus berhati-hati dan bersikap kritis karena sepak terjang ulama
su’ sangat sulit dibedakan dengan ulama tulen yang ikhlas memperjuangkan Islam.
Ulama su’ menyebarkan pemikiran kufurnya dan
mebalutnya dengan dalil Quran dan hadits Rasulullah. Jadi konsep yang
sebenarnya adalah pemikiran kufur seolah menjadi pemikiran Islam. Selain itu
ulama su adalah sosok ulama yang sengaja diopinikan oleh beberapa oknum media
yang tidak pro dengan Islam. Maka jangan kaget jika ketenaran ulama su melebihi
ulama sejati. Sebut saja seorang ulama su’ yang bergelar doktor tanpa malu-malu
menghalalkan perkawinan beda agama, bahkan yang lebih mencengangkan Ia
menghalalkan pernikahan sesame jenis (homoseksual dan lesbian).
Agenda lain yang sering dikampayekan oleh ulama
su’ adalah sekularisasi Islam. Mereka mencoba meracuni pemikiran kaum muslimin dengan
melakukan pemisahan antara kehidupan dunia dan konsep Islam. Mereka menganggap
Islam dipakai hanya pada tataran pengaturan hubungan manusia dengan Allah swt.
Namun untuk mengatur ranah sosial aturan yang digunakan adalah hukum positif
yang berlaku walaupun bertentangan dengan syariat Islam. Maka muncullah
konsep-konsep nyeleneh seperti “Islam tidak punya konsep tentang pemerintahan”
atau “negara tidak wajib menerapkan syariat Islam”. Untuk memperkuat argumennya
digunakanlah Ayat Al-Quran yang telah ditafsirkan dan diputarbalikkan
sekehendak hatinya.
Ulama su’ juga sering dimanfaatkan untuk
menyuarakan kepentingan dan kebijakan asing. Saat isu perang melawan terorisme
yang merupakan agenda asing, mereka pun dipakai. Melalui ceramah dan khutbah
ulama su’ umat Islam coba dipecah belah dengan cara mengelompokkannya menjadi
Islam moderat-radikal, liberal-fundamentalis, tekstual-kontekstual. Jika umat
Islam sudah terkotak-kotakkan, maka akan sangat mudah dipecahbelah. Jihad yang
menjadi salah satu elemen syariat Islam dipersempit maknanya hanya pada
pengertian bahasa. Sementara makana syar’I yaitu berperang dijalan Allah dianggap
sebagai sebuah kejahatan.
Ketika muncul fenomena pernikahan dini dan
poligami, ulama su’ tampil bagaikan pahlawan yang tegas menolak dengan alasan
melindungi kehormatan kaum muslimah. Namun dimanakah pembelaan ulama su’ ketika
kaum muslimah dilarang menggunakan jilbab?
Ironisnya sebagian kaum muslimin seolah
terhipnotis oleh pemikiran kufur karena yang menfatwakan adalah orang yang
terlanjur digelari “ulama”. Sementara ulama sejati yang ikhlas memperjuankan
Islam dianggap sebagai ulama yang harus diwaspadai karena mengajarkan paham
Islam radikal.
Kaum muslimin harus berhati-hati karena populasi
ulama su’ semakin meningkat dan sementara bergentayangan menyebarkan paham
sesatnya. Mempelajari Islam secara kaffah dan murni mulai dari konsep tauhid,
ekonomi, bahkan sampai konsep negara dan pemerintahan adalah solusi praktis
yang dapat dilakukan.
Umat Islam harus semakin kritis mengenali ulamanya
sendiri. Dari segi penampilan fisik ulama su’ dan ulama sejati nyaris sama dan
tidak dapat dibedakan, namun mereka hanya mampu dibedakan dari pemikiran yang
diembannya. Boleh jadi tanpa disadari ulama su’ saat ini sering berdiri
dimimbar masjid kita, waspadalah!
0 komentar:
Posting Komentar