Dimuat di Harian Tribun Timur Makassar.
Silih berganti, calon tamu Allah meninggalkan
sanak saudara dan tanah air tercinta. Deraian air mata tak terbendung, doa keluarga
mengiringi langkah calon jamaah haji yang akan menyempurnakan penunaian rukun
Islam. Setiap bulan haji, Kota Mekkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah tampaknya
telah mampu menjadi magnet yang sangat kuat dan mampu menarik jutaan kaum
muslimin untuk berbondong-bondong datang memenuhi undangan Allah.
Menunaikan rukun Islam ke-lima ini, bukanlah hal
yang mudah. Selain dibutuhkan kekuatan fisik, calon jamaah haji juga harus
merogok kocek yang tidak sedikit. Puluhan juta harus diinfakkan dijalan Allah
agar bisa berkunjung ke Baitullah. Bahkan ada diantara calon jamaah haji yang
harus menabung bertahun-tahun agar mampu menunaikan niat sucinya.
Namun ada satu fenomena menarik, walaupun dari
tahun ke tahun Ongkos Naik Haji (ONH) terus naik (untuk tahun ini saja ONH naik
sekitar 4 juta rupiah dibanding tahun lalu), namun hal ini tidak menyurutkan
semangat muslim Indonesia untuk menunaikan ibadah haji. Pada tahun 1967
pemerintah mampu memberangkatkan 16.949 jamaah haji namun di masa kini jumlah
calon jamaah haji mencapai 200 ribu orang ditambah lagi dengan semakin
panjangnya daftar tunggu (waiting list) calon jamaah haji yang terpaksa harus
menunggu akibat jumlah calon jamaah tidak sebanding dengan kuota yang diberikan.
Pengorbanan dan perjuangan tersebut sama dengan
apa yang dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Mereka rela bersimbah
peluh, menginfakkah harta, bahkan mengorbankan nyawa jika dibutuhkan, demi
menjaga tetap dilaksanakannya syariat Allah SWT.
Maka wajarlah jika Allah SWT mengganjar haji
mabrur dengan ganjaran surga. Karena memang untuk memperoleh haji yang mabrur
bukanlah hal yang mudah.
Ibadah haji adalah wisata spiritual yang sarat
makna dan pesan-pesan ilahiyah yang mampu mendidik siapapun yang menunaikannya
untuk menjadi muslim yang taat. Ibadah haji mengajari ketaatan total kepada
Sang Pencipta, Allah SWT. Ibadah haji mengajari kaum muslimin untuk taat kepada
syariat Allah dan menundukkan hawa nafsunya. Misalnya ritual mencium hajar
aswad, semata-mata dilakukan karena perintah Allah dan telah dicontohkan oleh
Rasulullah. Umar bin Al-Khaththab pernah berkata,”Sungguh Aku tahu engkau
(hajar aswad) hanya sebongkah batu hitam yang tidak bisa mendatangkan manfaat
atau mudharat. Andai saja Aku tidak melihat Rasul menciummu pasti Aku tidak
akan sudi menciummu.”
Begitulah sikap Umar yang telah diteladani oleh
jamaah haji. Mereka menjalankan semua ritual ibadah haji tanpa pernah
menunjukkan sikap keberatan apalagi protes, mengapa ibadah haji harus begini
dan begitu. Jamaah haji tidak pernah bertanya mengapa tawaf harus mengelilingi
Ka’bah dan dilakukan berlawanan dengan arah jarum jam, sebanyak tujuh kali. Tak
ada satu pun orang yang berani melakukannya berlawanan dengan arah yang
ditentukan.
Contoh lain saat melontar jumrah. Tak ada seorang
jamaah haji pun yang protes, mengapa jumrah yang dilempar hanya tiga? Atau
mengapa melemparnya menggunakan kerikil bukan dengan benda lain? Semuanya
mereka lakukan dengan penuh ketaatan karena meyakini begitulah tuntunan yang
diturunkan oleh Allah dan pernah dicontohkan oleh Rasulullah.
Inilah bukti jamaah haji benar-benar mengagungkan
dan mensakralkan ibadah haji sebagai salah satu syariat yang diperintahkan oleh
Allah. Sikap taat ini tercermin dari kesungguhan mereka menunaikan setiap rukun
dan sunah ibadah haji dengan penuh semangat, kesungguhan dan kehati-hatian.
Saat melaksanakan ritual yang memerlukan ketahanan fisik layaknya sa’i dan
melontar jumrah, mereka bagaikan singa di padang pasir yang begitu tangguh.
Namun ketika bermunajat di depan Ka’bah seraya memohon ampunan kepada Allah,
mereka laksana bayi kecil yang berlinang air mati pertobatan.
Selain ketaatan, cerminaan persatuan,
persaudaraan, dan kesetaraan sangat kental terasa. Seluruh kaum muslimin dari
berbagai negara, suku dan bangsa yang berbeda bahasa, warna kulit, status
social dan profesi, semuanya berkumpul ditempat yang sama. Tak dapat lagi
dibedakan mana keturunan ningrat dan yang mana keturunan rakyat biasa. Apalagi
ketika jamaah haji telah berbaur dengan menggunakan pakaian yang sama yaitu
pakaian ihram yang hanya terdiri dari lembaran kain putih bersih tak berjahit.
Simbol ini dapat mengajarkan kita betapa pentingnya kesucian hati dan pikiran
untuk melaksanakan syariat Allah. Selain itu jamaah haji juga diajari untuk
menanggalakan semua atribut jahiliyah. Yang ada dalam benak jamaah haji adalah
kesataraan dan persaudaraan. Ukhuwah Islamiyah adalah pengikat diantara mereka.
Demikianlah sebagaimana yang diajarkan oleh
Rasulullah pada saat haji wada’ ketika Beliau bersabda:
Wahai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu, dan
bapak kalian adalah satu. Ingatlah, tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas
orang non-Arab; juga tidak ada kelebihan bagi orang yang berkulit hitam atas
orang yang berkulit merah, kecuali dengan takwa. (HR Ahmab, Ibn Hibban, dan
al-Harits).
Inilah bukti bahwa perbedaan warna kulit, status
social, bahasa, bahkan perbedaan negara bukanlah penghalang untuk bersatunya
kaum muslimin. Buktinya dalam ibadah haji mereka mampu berbaur menjadi umat
bersatu menuju tujuan yang sama, yaitu menjalankan ketaatan, ketundukan dan
penghambaan hanya kepada Allah. Mereka pun menyerukan seruan yang sama Labaykallâhumma
labaik, labayka lâ syarîka laka labaik (Kami datang
memenuhi panggilan-Mu, ya Allah, kami datang siap menerima dan menjalankan
perintah-Mu. Kami datang memenuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu. Kami
datang siap menerima dan menjalankan perintah-Mu).
Andai saja ketaatan kaum muslimin dunia sama
seperti ketaatan jamaah haji maka sudah barang tentu Islam akan tampil sebagai
agama yang mulia, sebagaimana mulianya Islam pada masa Rasulullah dan para
sahabat. Namun sayang kerelaan kaum muslimin untuk diatur dengan syariat Islam
tidak seperti relanya mereka diatur dalam pelaksanaan ritual ibadah haji.
Disaat rute sa’i (lari-lari kecil) telah ditentukan dari Bukit Safa ke Marwa
tak ada satu pun kaum muslimin yang protes dan dengan ikhlas melaksanakannya.
Namun mengapa ketika Allah mewajibkan ekonomi yang berbasis pada syariat Islam
dan mengharamkan riba, masih banyak umat Islam yang bergelimangan dengan dosa
riba?
Disaat ditentukan jamaah haji wajib mengenakan
baju ihram yang terbuat dari kain putih bersih tak berjahit, maka tak ada satu
pun kaum muslimin yang menentang atau berani menggunakan pakaian selain pakaian
yang telah ditentukan. Namun ironisnya disaat Allah mewajibkan hamba-Nya untuk
menutup aurat dengan baju takwa, ternyata banyak diantara kaum muslimin yang
mengabaikannya. Dan tak sedikit mereka yang mengabaikan syariat Allah adalah
mereka yang pernah mengecap nikmatnya ibadah haji.
Terlepas dari berbagai keprihatinan dan krisis
yang masih mneggerogoti dunia Islam, kita tentuntya masih berharap ibadah haji
tahun ini mampu dijadikan momentum untuk meningkatkan persaudaraan dan
memperkokoh persatuan diantara kaum muslimin di seluruh penjuru dunia, agar kejayaan
Islam mampu terwujud seperti dulu. Kejayaan itu tidak akan terwujud jika kaum
muslimin masih terpecah belah sebagaimana saat ini. Contoh factual, muslim
Indonesia masih menganggap permasalahan muslim Palestina sebagai permasalahan
bangsa palestina semata. Hal ini tak akan terjadi jika adanya persatuan kaum muslimin
dunia yang dilandasi ukhuwah Islamiyah. Permasalahan yang menimpa satu negeri
kaum muslimin adalah permasalahan untuk seluruh kaum muslimin dunia dan
penyelesaiaannya adalah tanggung jawab bersama. Air mata muslim Palestina
adalah air mata kesedihan kaum muslimin di seluruh penjuru dunia. Inilah
cerminan kaum muslimin sebagai ummatan wahidah (umat yang satu). Keberhasilan
Rasulullah mewujudkan persatuan antara kaum muhajirin dan anshar seharusnya
mampu menjadi inspirasi untuk mewujudkan kembali persatuan kaum muslim.
Keterpecahbelahan kaum muslimin disebabkan tidak
adanya institusi yang mampu untuk mewujudkan persatuan kaum muslimin. Olehnya
itu mewujudkan institusi yang mampu mewujudkan kesatuan umat Islam adalah hal
wajib dan mendesak. Karena tanpa institusi tersebut persatuan kaum muslimin
hanyalah angan-angan belaka. Institusi kekhilafahan yang pernah dibangun oleh
Rasulullah dan diteruskan oleh para khalifah setelahnya.
0 komentar:
Posting Komentar