Selasa, 17 Januari 2012

Ibadah Haji : Momentum Persatuan Umat


Dimuat di Harian Tribun Timur Makassar.

Silih berganti, calon tamu Allah meninggalkan sanak saudara dan tanah air tercinta. Deraian air mata tak terbendung, doa keluarga mengiringi langkah calon jamaah haji yang akan menyempurnakan penunaian rukun Islam. Setiap bulan haji, Kota Mekkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah tampaknya telah mampu menjadi magnet yang sangat kuat dan mampu menarik jutaan kaum muslimin untuk berbondong-bondong datang memenuhi undangan Allah.
Menunaikan rukun Islam ke-lima ini, bukanlah hal yang mudah. Selain dibutuhkan kekuatan fisik, calon jamaah haji juga harus merogok kocek yang tidak sedikit. Puluhan juta harus diinfakkan dijalan Allah agar bisa berkunjung ke Baitullah. Bahkan ada diantara calon jamaah haji yang harus menabung bertahun-tahun agar mampu menunaikan niat sucinya.
Namun ada satu fenomena menarik, walaupun dari tahun ke tahun Ongkos Naik Haji (ONH) terus naik (untuk tahun ini saja ONH naik sekitar 4 juta rupiah dibanding tahun lalu), namun hal ini tidak menyurutkan semangat muslim Indonesia untuk menunaikan ibadah haji. Pada tahun 1967 pemerintah mampu memberangkatkan 16.949 jamaah haji namun di masa kini jumlah calon jamaah haji mencapai 200 ribu orang ditambah lagi dengan semakin panjangnya daftar tunggu (waiting list) calon jamaah haji yang terpaksa harus menunggu akibat jumlah calon jamaah tidak sebanding dengan kuota yang diberikan.
Pengorbanan dan perjuangan tersebut sama dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Mereka rela bersimbah peluh, menginfakkah harta, bahkan mengorbankan nyawa jika dibutuhkan, demi menjaga tetap dilaksanakannya syariat Allah SWT.
Maka wajarlah jika Allah SWT mengganjar haji mabrur dengan ganjaran surga. Karena memang untuk memperoleh haji yang mabrur bukanlah hal yang mudah.
Ibadah haji adalah wisata spiritual yang sarat makna dan pesan-pesan ilahiyah yang mampu mendidik siapapun yang menunaikannya untuk menjadi muslim yang taat. Ibadah haji mengajari ketaatan total kepada Sang Pencipta, Allah SWT. Ibadah haji mengajari kaum muslimin untuk taat kepada syariat Allah dan menundukkan hawa nafsunya. Misalnya ritual mencium hajar aswad, semata-mata dilakukan karena perintah Allah dan telah dicontohkan oleh Rasulullah. Umar bin Al-Khaththab pernah berkata,”Sungguh Aku tahu engkau (hajar aswad) hanya sebongkah batu hitam yang tidak bisa mendatangkan manfaat atau mudharat. Andai saja Aku tidak melihat Rasul menciummu pasti Aku tidak akan sudi menciummu.”
Begitulah sikap Umar yang telah diteladani oleh jamaah haji. Mereka menjalankan semua ritual ibadah haji tanpa pernah menunjukkan sikap keberatan apalagi protes, mengapa ibadah haji harus begini dan begitu. Jamaah haji tidak pernah bertanya mengapa tawaf harus mengelilingi Ka’bah dan dilakukan berlawanan dengan arah jarum jam, sebanyak tujuh kali. Tak ada satu pun orang yang berani melakukannya berlawanan dengan arah yang ditentukan.
Contoh lain saat melontar jumrah. Tak ada seorang jamaah haji pun yang protes, mengapa jumrah yang dilempar hanya tiga? Atau mengapa melemparnya menggunakan kerikil bukan dengan benda lain? Semuanya mereka lakukan dengan penuh ketaatan karena meyakini begitulah tuntunan yang diturunkan oleh Allah dan pernah dicontohkan oleh Rasulullah.
Inilah bukti jamaah haji benar-benar mengagungkan dan mensakralkan ibadah haji sebagai salah satu syariat yang diperintahkan oleh Allah. Sikap taat ini tercermin dari kesungguhan mereka menunaikan setiap rukun dan sunah ibadah haji dengan penuh semangat, kesungguhan dan kehati-hatian. Saat melaksanakan ritual yang memerlukan ketahanan fisik layaknya sa’i dan melontar jumrah, mereka bagaikan singa di padang pasir yang begitu tangguh. Namun ketika bermunajat di depan Ka’bah seraya memohon ampunan kepada Allah, mereka laksana bayi kecil yang berlinang air mati pertobatan.
Selain ketaatan, cerminaan persatuan, persaudaraan, dan kesetaraan sangat kental terasa. Seluruh kaum muslimin dari berbagai negara, suku dan bangsa yang berbeda bahasa, warna kulit, status social dan profesi, semuanya berkumpul ditempat yang sama. Tak dapat lagi dibedakan mana keturunan ningrat dan yang mana keturunan rakyat biasa. Apalagi ketika jamaah haji telah berbaur dengan menggunakan pakaian yang sama yaitu pakaian ihram yang hanya terdiri dari lembaran kain putih bersih tak berjahit. Simbol ini dapat mengajarkan kita betapa pentingnya kesucian hati dan pikiran untuk melaksanakan syariat Allah. Selain itu jamaah haji juga diajari untuk menanggalakan semua atribut jahiliyah. Yang ada dalam benak jamaah haji adalah kesataraan dan persaudaraan. Ukhuwah Islamiyah adalah pengikat diantara mereka.
Demikianlah sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah pada saat haji wada’ ketika Beliau bersabda:
Wahai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu, dan bapak kalian adalah satu. Ingatlah, tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang non-Arab; juga tidak ada kelebihan bagi orang yang berkulit hitam atas orang yang berkulit merah, kecuali dengan takwa. (HR Ahmab, Ibn Hibban, dan al-Harits).
Inilah bukti bahwa perbedaan warna kulit, status social, bahasa, bahkan perbedaan negara bukanlah penghalang untuk bersatunya kaum muslimin. Buktinya dalam ibadah haji mereka mampu berbaur menjadi umat bersatu menuju tujuan yang sama, yaitu menjalankan ketaatan, ketundukan dan penghambaan hanya kepada Allah. Mereka pun menyerukan seruan yang sama Labaykallâhumma labaik, labayka lâ syarîka laka labaik (Kami datang memenuhi panggilan-Mu, ya Allah, kami datang siap menerima dan menjalankan perintah-Mu. Kami datang memenuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu. Kami datang siap menerima dan menjalankan perintah-Mu).
Andai saja ketaatan kaum muslimin dunia sama seperti ketaatan jamaah haji maka sudah barang tentu Islam akan tampil sebagai agama yang mulia, sebagaimana mulianya Islam pada masa Rasulullah dan para sahabat. Namun sayang kerelaan kaum muslimin untuk diatur dengan syariat Islam tidak seperti relanya mereka diatur dalam pelaksanaan ritual ibadah haji. Disaat rute sa’i (lari-lari kecil) telah ditentukan dari Bukit Safa ke Marwa tak ada satu pun kaum muslimin yang protes dan dengan ikhlas melaksanakannya. Namun mengapa ketika Allah mewajibkan ekonomi yang berbasis pada syariat Islam dan mengharamkan riba, masih banyak umat Islam yang bergelimangan dengan dosa riba?
Disaat ditentukan jamaah haji wajib mengenakan baju ihram yang terbuat dari kain putih bersih tak berjahit, maka tak ada satu pun kaum muslimin yang menentang atau berani menggunakan pakaian selain pakaian yang telah ditentukan. Namun ironisnya disaat Allah mewajibkan hamba-Nya untuk menutup aurat dengan baju takwa, ternyata banyak diantara kaum muslimin yang mengabaikannya. Dan tak sedikit mereka yang mengabaikan syariat Allah adalah mereka yang pernah mengecap nikmatnya ibadah haji.
Terlepas dari berbagai keprihatinan dan krisis yang masih mneggerogoti dunia Islam, kita tentuntya masih berharap ibadah haji tahun ini mampu dijadikan momentum untuk meningkatkan persaudaraan dan memperkokoh persatuan diantara kaum muslimin di seluruh penjuru dunia, agar kejayaan Islam mampu terwujud seperti dulu. Kejayaan itu tidak akan terwujud jika kaum muslimin masih terpecah belah sebagaimana saat ini. Contoh factual, muslim Indonesia masih menganggap permasalahan muslim Palestina sebagai permasalahan bangsa palestina semata. Hal ini tak akan terjadi jika adanya persatuan kaum muslimin dunia yang dilandasi ukhuwah Islamiyah. Permasalahan yang menimpa satu negeri kaum muslimin adalah permasalahan untuk seluruh kaum muslimin dunia dan penyelesaiaannya adalah tanggung jawab bersama. Air mata muslim Palestina adalah air mata kesedihan kaum muslimin di seluruh penjuru dunia. Inilah cerminan kaum muslimin sebagai ummatan wahidah (umat yang satu). Keberhasilan Rasulullah mewujudkan persatuan antara kaum muhajirin dan anshar seharusnya mampu menjadi inspirasi untuk mewujudkan kembali persatuan kaum muslim.
Keterpecahbelahan kaum muslimin disebabkan tidak adanya institusi yang mampu untuk mewujudkan persatuan kaum muslimin. Olehnya itu mewujudkan institusi yang mampu mewujudkan kesatuan umat Islam adalah hal wajib dan mendesak. Karena tanpa institusi tersebut persatuan kaum muslimin hanyalah angan-angan belaka. Institusi kekhilafahan yang pernah dibangun oleh Rasulullah dan diteruskan oleh para khalifah setelahnya.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More