Dee. Aku bingung padamu. Entahlah, Dee itu makhluk
apa. Insan tampan lagi menawan atau sosok juwita nan jelita? Ah semuanya tersingkap
saat tahu namamu, Dewi Lestari. Dewi pertanda sosok wanita mulia. Lestari, kata
lain keabadian. Dewi lestari, sosok wanita yang hidup mengabadi. Dan benarlah
pilihan hidupmu, menata indah aksara dalam beragam karya. Menulis. Karena menulis
adalah bekerja untuk keabadiaan, begitu pesan Bang Pramoedya.
Oh iya,rasanya kurang sopan jika aku menyapamu dengan
: kamu, kau atau dikau. Karena rentang usia kita berpaut 11 tahun. Engkau kelahiran
76, aku 87. Aku lebih muda. Maka ijinkanku mendaulatmu dengan sapa hormat,
Kanda. Kanda Dee. Semoga tak berkeberatan.
Kanda Dee, mengarungi setiap racikan katamu,
membekaskan cita rasa tersendiri. Nikmat dengan pilihan diksi tepat. Gurih dengan
beragam istilah lucu yang mentersenyumkan aku. Kadang juga ada rasa getir,
hingga harus membacanya berulang-ulang. Empat kali bolak balik. Tersebab karakter
tokoh yang membingungkan. Juga jalinan cerita yang akalku sulit menerimanya,
lalu bertanya, “Apa mungkin bisa seperti itu?”
Misalnya Si Bodhi yang sebatang kara itu. Kanda Dee,
bagiku ia terlampau sempurna. Lihai bersilat Kung Fu. Juga mahir mentatto
indah. Tambah lagi pengkaji ideologi anarki. Tapi setelah dipikir-pikir, itu
bukan masalah. Hitung-hitung sebagai ujian kesabaranku dan berlatih untuk
berimajinasi. Kanda, teruslah berkarya. Agar aku bisa terus berdecak kagum
dengan diksimu, tersenyum bersama leluconmu dan berimajinasi dengan
ketidakrasionalan kisahmu. Untuk yang terakhir, jangan tersinggung Kanda. Karena
harta yang paling berharga bagi seorang penulis ada kritikan. Bukan pujian. Karena
terkadang pujian itu melenakan. Dan saksikan, aku di sini sebagai adikmu (itu
pun jika diakui), pembacamu, sekaligus pengkrtikmu. Lengkaplah sudah.
Kanda Dee, betapa ingin terus bersua denganmu, meski
lewat perantaraan karya. Terkadang itu lebih berkesan, deripada langsung
bertatap, saling melempar senyum sapa. Biarlah penasaran itu tetap membunga
dalam taman rindu. Dan terobati dengan hadirnya beragam novel karyamu.
Kanda Dee, aku belum kuasa memiliki dan membaca semua
kerja kebadianmu, novel-novelmu. Pasti masih banyak rahasia yang tersimpan
dalam Madre. Dan ingin sekali aku berlayar, mengelanai dunia. Aku tak ingin
menggunakan kapal pesiar mewah seperti Concordia yang baru tenggelam itu. Biarlah
aku kelanai dunia bersama indah “Perahu Kertas”. Juga ingin kulalui hari-hari ini dengan
berkarya sepertimu Kanda Dee. Karena aku juga seorang penulis. Penulis pemula
tepatnya. Berimpian melewati temaram senja dan dinginnya malam dengan secangkir
“Filosofi Kopi”. Semoga Allah, Sang Pengabul impian, mendengar doa-doa ini. Selalu
membersamai Kanda Dee, dalam setiap karyanya.
Kanda Dee, begitu saja. Sampai jumpa. Kali ini hanya 400
kata yang kuasa kuukir untukmu.
Dari timur, Bumi Anging Mamiri, Makassar.
Dari : Adi Wijaya
0 komentar:
Posting Komentar