Tulisan ini berhasil menjadi esai terbaik Unhas Book Fair 2008
Kesempitan
hidup semakin melilit. Kolong jembatan dipenuhi sesak warga tuna wisma. Walupun
dikabarkan angka kemiskinan menurun, namun faktanya tak sulit menemukan
gelandangan yang berkeliaran dan pengemis yang menegadahkan tangannya sekedar
mengharap sekeping uang logam dari sang dermawan.
Apakah
hanya sebatas wabah kemiskinan yang menyesakkan hati kita? Ternyata tidak. Ada
isu global yang lebih memiriskan hati, karena tidak hanya mengancam
kelangsungan hidup penghuni kolong jembatan, namun seluruh penghuni kolong
langit, siapa pun dia. Mulai dari bayi kecil mungil yang hanya mampu merasakan
panasnya dunia, sampai orang tua renta yang semakin gerah dengan tempertatur
bumi yang terus naik, mereka semua terancam dengan fenomena bertajuk Global
Warming (pemanasan global).
Wajar
saja jika global warming telah menjadi kekhawatiran dan ketakutan global yang
merembes ke seluruh pelosok dunia mulai dari negara maju bahkan sampai negara yang
tergolong miskin dan tertinggal. Karena sebagian ahli dengan bukti-bukti ilmiah
mampu meyakinkan masyarakat bahwa global warming lambat laun akan menghancurkan
dunia dan diramalkan menjadi akhir keberlanjutan hidup bumi. Menariknya, isu
global warming bukanlah isu yang baru mencuat namun isu lama yang terus
menghangat seiring semakin menghangatnya bumi.
Sebenarnya
menghangatnya bumi adalah fenomena yang wajar dan alamiah. Karena jika bumi
tidak menghangat maka bisa dipastikan bumi akan membeku seperti pada masa ice age. Namun yang mebuat penghuni
kolong langit ini khawatir adalah pemanasan bumi yang awalnya adalah merupakan
peristiwa alamiah saat ini telah berubah menjadi pemanasan yang abnormal.
Sehingga terjadi anomali kenaikan temperatur bumi yang sangat mengkhawatirkan.
Hasil
temuan sebuah lembaga panel internasional, Intergovermental
Panel and Climate Change (IPCC) yang beranggotakan lebih dari 100 negara di
seluruh dunia, menyatakan bahwa pada tahun 2005 terjadi peningkatan suhu di dunia
0,6-0,70 derajat, bahkan dia Asia sampai mencapai 1,0 derat. Walaupun
kenaikannya terkesan tidak terlalu signifikan, ternyata telah mampu membuat
ketersediaan air di negeri-negeri tropis berkurang 10 hingga 30 persen.
Jika negeri tropis berkurang cadangan airnya, lain halnya dengan
Benua Afrika. Disana justru diramalkan permukaan air laut akan naik 4 sampai 6
meter akibat melelehnya Gleser (gunung
es) di Himalaya dan Kutub Selatan. Bahkan jika meleh seluruhnya, mampu
meningkatkan permukaan air laut sekitar 7 meter pada tahun 2012. Bahkan 30
tahun ke depan akan menyebabkan tenggelamnya sebagian pesisir pantai dan akan
menyebabkan kegagalan panen dimana-mana yang berujung pada kelangkaan pangan.
Bukan tidak mungkin, busung lapar menjadi penyakit yang menjangkiti mayoritas
penduduk dunia. Dengan terus meningginya permukaan laut akan banyak pulau yang
hilang terendam air dan begitu pula kawasan tepi laut pun terendam. Jika ini
terjadi, pulau-pulau kecil di Nusantara dan kehidupan budaya pesisir hanya akan
menjadi romantsime sejarah masa lalu.
Selain itu, pemanasan global juga menyebabkan adanya
ketidakteraturan sirkulasi Iklim. Mungkin dulu kita bisa meramalakan kapan saja
musim hujan dan kemarau. musim kemarau misalnya terjadi antara bulan April
hingga Oktober, dan musin penghujan dari Oktober hingga April. Namun saat ini
akibat pengaruh pemanasan global, sirkulasi iklim menjadi terganggu. Jika kita
teliti mengamati,sering terjadi musim panas yang berkepanjangan, curah hujan
yang terlalu deras, gelombang laut yang tinggi, sampai naiknya permukaan air
laut. Hujan lebat masih turun disertai angin kencang hingga Juni, akhirnya
muncul istilah “kemarau basah”,
istilah yang terkesan lucu.
Fenomena
global warming ternyata mampu menimbulkan efek domino yang juga mempengaruhi
sektor kesehatan. Akibat terus meningkatnya suhu, banyak wabah penyakit endemik
lama dan baru yang bermunculan. Misalnya leptopirosis, demam berdarah, diare,
malaria. Seharusnya penyakit-penyakit tersebut telah lewat dan mampu ditangani,
namun ternyata banyak masyarakat yang terinfeksi bahkan ada yang sampai harus
meregang nyawa.
Bukan hanya sektor lingkungan dan kesehatan yang terpengaruh,
namun global warming juga dapat mempengaruhi kestabilan politik antar negara
tetangga. Jika air laut naik, maka daratan akan tenggelam. Jika daratan yang
hilang tersebut adalah daratan yang dijadikan sebagai acuan batas negara, maka
akan menyebabkan persengketaan akibat batas negaranya hilang. Untuk negara kepulauan seperti Indonesia dengan batas laut yang kritis
dengan beberapa negara, hilangnya sebuah pulau terluar bisa berakibat ribuan
kilometer persegi wilayah kedaulatan laut baik itu laut teritorial, Zona
Ekonomi Eksklusif atau Landas Kontinen dapat tiba-tiba hilang.
Secara
umum dampak yang dirasakan oleh seluruh dunia saat ini adalah makin panjangnya
musim panas dan makin pendeknya musim hujan, selain itu makin maraknya badai
dan banjir di kota-kota besar (el Nino) di seluruh dunia. Serta meningkatnya
cuaca secara ekstrim, yang tentunya sangat dirasakan di negara-negara tropis.
Jika ini kita kaitkan dengan wilayah Indonesia tentu sangat terasa, begitu juga
dengan kota-kota yang dulunya dikenal sejuk dan dingin makin hari makin panas
saja.
Merujuk pada logika kausalitas (sebab-akibat), ternjadinya
fenomena global warming tentu memiliki faktor pemicu dan tidak mungkin terjadi
dengan sendirinya. Menurut laporan beberapa ahli, bumi kita ini telah mengalami
kerusakan yang begitu parah dan menuju pada akhir sejarah. Ancaman yang
sedahsyat ini tidak mungkin terjadi secara kebetulan, namun memiliki rentetan
panjang kronologis kejadian, yang harus diurai dan dirumuskan formula jitu
untuk menyelesaikan permasalahan global warming yang semakin mengancam.
Salah satu penyebabnya adalah berkembangnya industri yang memicu miningkatnya
emisi karbon. akibat penggunaan energi fosil (bahan bakar minyak, batubara dan
sejenisnya, yang tidak dapat diperbarui).
Emisi
karbon ini menyebabkan terbentuknya gas rumah kaca, yang dikenal sebagai satu
efek dimana molekul-molekul yang berada di atmosfer seperti memberikan efek
seperti pada rumah kaca. Sebenarnya efek rumah kaca ini tak bisa dihindari,
karena merupakan hal yang terjadi secara alamiah. Efek rumah kaca inilah yang
menjaga agar temperatur bumi selalu tetap pada kisaran 30 derajat Celsius.
Karena kalau tidak, kehidupan di dunia tidak dapat berlangsung.
Terbentuknya
efek rumah kaca adalah suatu keniscayaan. Penelitian pada tahun 1820 oleh Fourier, ditemukan bahwa atmosfer sangat
bisa diterobos oleh cahaya matahari. Tetapi tidak semua cahaya matahari yang
dipancarkan ke permukaan bumi dapat dipantulkan seluruhnya. Radiasi infra merah
misalnya, ternyata tidak bisa dipantulkan keluar, melainkan terjebak didalam
atmosfer yang akhirnya mampu menghangatkan bumi.
Namun
kondisi kekinian, efek rumah kaca yang sebenarnya alamiah akibat campur tangan
manusia, efek ini menjadi efek yang abnormal, sehingga bukannya menjaga bumi
agar tetap hangat pada temperatur normal, tapi menyebabkan bumi terus bertambah
hangat melampau batas ambang normal. Jadi sebenarnya manusia adalah komponen
alam yang paling bertanggung jawab terhadap kenaikan suhu global. Karena dari aktivitas manusialah emisi
karbon meningkat drastis, semenjak revolusi industri.
Global
warming dengan efek rumah kacanya, harus mendapat penanganan serius. Jika tidak
maka dampak yang telah terjadi akan terakumulasi dan menjadi bom waktu yang
akan meledak sewaktu-waktu. Sebelum semuanya meledak dan menyebabkan
penderitaan massal dikalangan umat manusia, maka usaha untuk menanggulangi
pemanasan global menjadi mendesak dan harus segera dilakukan.
Solusi Praktis
Solusi
penanggulangan global warming dapat dilakukan dengan menempuh dua pendekatan
solusi, yaitu solusi yang bersifat praktis dan strategis. Solusi praktis yang
bisa langsung dilakukan adalah :
Konsumsi Pangan Ramah Lingkungan
Pola
konsumsi pangan yang paling ramah lingkungan adalah pola konsumsi vegetarian.
Dan ternyata energi yang didapat jika langsung mengkonsumsi nutrisi nabati
adalah tujuh kali lipat lebih tinggi dari pada jika nutrisi nabati diberikan
pada ternak, kemudian kita mengkonsumsi daging ternaknya.
Masalah
lain yang ditimbulkan oleh konsumsi pangan adalah limbah kemasan produk.
Makanan kemasan memang praktis dan lebih awet. Namun sering digunakan kemasan
yang tidak ramah lingkungan. Sehingga lingkungan semakin cepat rusak akibat
banyaknya sampah kemasan makanan yang tidak dapat di uraikan.
Rusaknya
ekosistem alam akibat bertebarannya sampah anorganik yang tidak dapat
teruraikan, akan berdampak langsung terhadap rusaknya kualitas vegetasi.
Padahal vegetasi adalah salah satu penyumbang oksigen terbesar yang akan mampu
mengurangi efek rumah kaca dan menurunkan resiko terjadinya global warming.
Pemanfaatan Energi Ramah Lingkungan
Energi
paling ramah lingkungan adalah energi matahari. Dan sebenarnya banyak
aktitvitas manusia yang masih bisa memanfaatkan energi matahari. Misalnya untuk
mengeringkan pakaian, cukup dengan menggunakan energi matahari, tak perlu menggunakan
mesin pengering yang menghabiskan energi lebih banyak. Atau untuk menghangatkan
air, cukup dengan menjemurnya diterik matahari. Kalaupun diinginkan dalam
jumlah besar dengan tingkat panas yang lebih tinggi, bisa menggunakan
solar-collector lengkap dengan tankinya. Teknologinya sederhana dan murah,
namun dapat menghemat listrik dan gas, terutama untuk usaha perhotelan.
Contoh
yang lain misalnya dengan mensiasati penggunaan AC (Air Conditioner), yang pada
beberapa produk tidak ramah lingkungan karena menghasilkan gas CFC yang merusak
ozon. Langkah praktis yang bisa ditempuh, misalnya dengan mendesain
gedung-gedung dengan ventilasi yang baik sehingga mampu menghemat penerangan
dan pendingin udara. Di Indonesia misalnya gaya berpakaian pada acara-acara
resmi adalah menggunakan jas dan dasi, lantas agar tidak kegerahan AC diatur ke
suhu yang sangat dingin. Maka semakin banyaklah gas CFC yang dihasilkan dan
semakin rusaklah kondisi udara. Usaha untuk mengatasi global warming akan
semakin sulit.
Kita
harus mencontoh orang di Thailand dan Filipina yang mengatur seragam dinas
pegawainya dengan baju kaos berkerah. Atau orang Jepang dan Jerman yang sudah
mengembangkan eco-house yang mampu
membuat rumah ramah lingkungan. Dinding luar berselimut tanaman rambat, atap
berlapis solar panel, aliran air pemanas ruangan dapat dipakai mandi.
Septic-tank yang menghasilkan gas methan dapat digunakan menambah energi untuk
dapur.
Transportasi Ramah Lingkungan
Salah
satu penyumbang emisi karbondioksida terbesar adalah gas buangan kendaraan
bermotor. Jika menggunakan alat transportasi yang lebih ramah lingkungan maka
dampak efek rumah kaca dapat diatasi atau minimal dikurangi.
Alat
transportasi yang paling ramah lingkungan adalah sepeda. Jika ingin alat yang
lebih canggih, saat ini telah dikembangkan sepeda dengan sumber energi berasal
dari solar panel untuk menyerap energi matahari dan konon dapat menempuh jarak
ribuan kilometer. Kalaupun harus membawa beban yang lebih banyak, becak dan
pedati dapat menjadi pilihan bijak. Atau jika bawaan dalam jumlah banyak dan
jarak yang relatif jauh, silakan memilih kereta api listrik.
Di
laut juga dapat dikembangkan kapal yang ramah lingkungan dengan emisi karbon
yang sangat kecil. Kapal ramah lingkungan saat ini telah banyak yang menggunkan
layar mekanis. Layar ini dapat dikembangkan secara otomatis jika kecepatan
angin menguntungkan. Penggunaan angin dapat menghemat bahan bakar sampai 50 %.
Artinya emisi karbon pun berkurang.
Efektifitas Sarana Komunikasi dan Informasi
Kehidupan
manusia dari waktu ke waktu semakin dinamis, sehingga menuntut tingkat
mobilisasi yang tinggi. Agar mobilitas manusia semakin efektif dan efesien,
maka diperlukan moda transportasi. Baik itu sarana transportasi milik pribadi
atau umum. Hal ini tentu bedampak meningkatnya gas karbon yang semakin
menebalkan lapisan rumah kaca. Walhasil hawa bumi akan semakin panas.
Jika
sarana komunikasi diefektifkan maka mobilitas manusia mampu ditekan,
pengembangan teknologi komunikasi akan mengurangi kebutuhan transportasi. Selain
itu media elektronik adalah media yang sangat ramah lingkungan. Informasi tidak
lagi disebarkan melalui kertas sehingga mengurangi jumlah pohon yang harus
ditebang. Bila di Indonesia penerbit berlomba-lomba menggunakan kertas putih
untuk mencetak buku agar terkesan lux, diluar negeri justru dikembangkan kertas
daur ulang. Konon untuk mencetak novel Harry Potter 7, sampai dikembangkan 32
jenis kertas daur ulang. Penerbit di Kanada menggunakan 100 % kertas daur
ulang. Upaya ini ternyata telah membuat edisi bahasa Inggris novel ini
menghemat penebangan 200 ribu pohon dan 8 juta gas rumah kaca.
Solusi Strategis
Selain
menggagas solusi yang sifatnya praktis, kita pun harus merumuskan solusi yang
sifatnya strategis. Karena pengopinian isu global warming tidak semata-mata
bermuatan tujuan luhur penyelamatan lingkungan. Namun ada unsure kepentingan politik
dan bisnis dibalik isu tersebut. Jadi permasalah global warming tidak akan
pernah terselesaikan secara tuntas jika kita hanya menggunakan solusi teknis/praktis
untuk menyelesaikannya. Karena solusi praktis lebih pada solusi yang sifatnya
tambal sulam dan parsial. Oleh karena itu harus didukung dengan solusi
strategis yang sifatnya menyelesaikan masalah secara fundamental.
Adanya
kepentingan politik terlihat pada pertemuan tingkat tinggi yang diadakan oleh United
Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Tujuan pertemuan ini adalah untuk
mengevaluasi protokol Kyoto yang telah disepakati pada tahun 1997. Protokol
Kyoto adalah kesepakatan yang telah dinegosiasikan di Kyoto yang merupakan
persetujuan sah dimana negara-negara perindustrian akan mengurangi emisi
karbondioksida dan gas-gas rumah kaca lainnya.
Namun Amerika Serikat (AS), sebagai negara industri
terbesar dunia sekaligus salah satu negara penyumbang gas rumah kaca terbesar
dunia, telah menolak menandatangani protokol tersebut. Hal ini wajar terjadi
karena sebagai negara pengusung kapitalisme terkuat di dunia, AS akan melakukan
apapun untuk membela kepentingan ekonominya, walaupun tindakan tersebut akan
mendapatkan kecaman dari masyarakat dunia. Dalam pandangan kapitalisme,
tindakan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dari eksploitasi
sumberdaya alam jauh lebih penting walaupun harus mengorbankan kepentingan
orang lain. Inilah paradigma mendasar ideologi kapitalisme.
Riset telah membuktikan bahwa negara industri
seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, Itali, Rusia, Jepang dan
Kanada merupakan negara-negara penghasil gas rumah kaca terbesar, sehingga
merupakan negara yang paling bertanggung jawab terhadap tragedi global warming.
Untuk mengalihkan citra negatif ini yang terlanjur melekat pada negara-negara
tersebut, mereka menuduh negara-negara berkembang yang memiliki hutan luas,
seperti Indonesia dan Brasil harus ikut bertanggung jawab terhadap terjadinya
global warming akibat praktek penebangan hutan di negaranya. Namun ternyata
penebangan hutan besar-besaran adalah untuk diimpor atas pesanan negara
industri.
Bagaimanapun negara industri tersebut membutuhkan
bahan mentah, sementara negara mereka tergolong negara yang tidak memiliki
kekayaan alam. Di Eropa hampir 80% hutannya telah rusak, karena hujan asam akibat
aktivitas industri. Sebanyak 20 persen penduduk terkaya dunia bertanggung jawab
terhadap lebih dari 60 bahkan sampai 80 persen emisi gas saat ini. Rata-rata
emisi orang Amerika Serikat sebanding dengan 9 orang Cina dan 18 orang India
dan tingkat penggunaan bahan bakar fosil 8 kali lipat penduduk di negara
berkembang.
Inilah bukti kentalnya konspirasi politik negara
industri untuk “mengkambinghitamkan” negara berkembang sebagai negara yang
peling bertanggung jawab terhadap fenomena global warming. Padahal sejatinya
negara industrilah penyumbang gas emisi terbesar dunia.
Selain itu motif ekonomi pun sangat terasa dibalik
isu global warming. Sebenarnya sudah banyak negara berkembang yang bisa menjadi
negara yang ramah lingkungan, tanpa harus menunggu adanya transfer teknologi
dari negara maju (industri). Karena umumnya transfer teknologi dari negara maju
disertai dengan beberapa syarat politis dan ekonomi yang berbau imperialisme
gaya baru. Teknologi yang telah ditemukan kemudian dipatenkan dan hak patennya
dijual dengan harga yang tak terjangkau oleh negara berkembang. Akhirnya negara
berkembang terus menjadi sasaran fitnah negara-negara industri sebagai negara
yang tidak ramah lingkungan.
Oleh karena itu langkah strategis dari negara dunia
ketiga (negara berkembang) adalah berusaha untuk bersatu dan merumuskan konsep
politik alternatif dan meninggalkan konsep politik dan ekonomi yang berlaku
sekarang, karena telah terbukti tidak mampu mensejahterakan justru malah
membuat negara berkembang semakin menderita.
Sebenarnya sangat mudah jika negara berkembang,
termasuk Indonesia, mau bersatu dan melakukan perlawanan terhadap sistem
perpolitikan dan ekonomi yang sangat tidak adil saat ini. Nadi kehidupan dunia
sebenarnya dipegang oleh negara berkembang, karena sebagian besar kekayaan alam
dunia terdapat di perut bumi negara-negara berkembang bukan negara industri.
Yang diperlukan saat ini adalah nyali dari pemerintah negara berkembang untuk
melakukan sedikit perlawanan dan berani memberontak melepaskan diri dari
belenggu neo-kolonialisme yang sementara menghegemoni dunia.