“Tak perihkah hati
dikatai gila, tak sempurna waras?” Aku bertanya pada pria paruh baya. Rambut
dan jenggotnya memutih. Matanya juga mulai rabun. Apalagi di lensanya ada keruh
putih mengendap. Pasti katarak. Ia lelaki hebat. Selalu menyambut mentari
dengan senyuman. Lalu mengiringinnya membenam pun bersama senyum. Selalu
terlihat riang susuri hari. Mungkin itulah sebab, banyak penduduk kampung
berprasangka ia tak begitu waras. Uwak
Stegi, Uwak setengah gila, ia sering dicandai. Padahal namanya indah,
Burhanuddin. Padanya kusapa Uwak Buddin. Tak tega rasanya memanggilnya Uwak
Stegi. Ah, itu penghinaan.
“Ha…ha…” Uwak Budin
tertawa, “Tak perlulah risau. Biasa manusia, kerap kali salah menilai, tempatnya
keliru dan khilaf sering mampir.”
Padanya aku bersimpatik.
Riang selalu hatinya. Usaha sambung nyawanya, hanya sebagai penggembala sewaan.
Atau petani bayaran. Itu pun jika ada yang memberi kerjaan. Upahnya tak banyak.
Cukup buat makan, sudahlah senang.
Menatap hidupnya,
kadang air mata berlinang. Seperti orang terbuang. Tak lebih sehitungan jemari tangan,
orang berperhatian padanya. Padahal jasanya untuk kampung sungguh menggunung. Pandangi
surau di pinggir kampung. Tak mungkin bergemuruh adzan darinya, lima kali
sehari, jika tak ada Uwak Buddin. Ia pelantun adzan. Meski nafasnya
putus-putus. Tengoklah kanak-kanak desa. Tak mampu mengaji mereka, jika Uwak
Buddin, tak mengajari selepas magrib.
Setiap hari, lepas
sekolah, kusempatkan bersembahyang di surau. Selalu ada Uwak Buddin menunggu.
Duduk termangu, membisu. Tak ingin sendiri bersembahyang. Rugi, pahalanya kecil.
Aku sering membersamai
dalam jeda waktunya. Kerap kali ia bercerita, tentang kisah hikmah. Ada kisah
tentang Nabi yang selalu dirundung duka. Karena sabar, deritanya pun berakhir
dan terbitlah bahagia. Ya, Aku ingat, itu kisah tentang Nabi Ayub. Ada juga
kisah manusia maha durhaka. Berani-berani menobatkan diri sebagai tuhan. Ini
pasti kisah Fir’aun. Sedap sekali bila Uwak Buddin bertutur kisah. Ada kebiasaan
yang tak pernah terlupa oleh Uwak Buddin. Bila usai bercerita, tersodorkan
secarik kertas lusuh. Ia pinta aku untuk menulis apa yang telah ia kisahkan.
“Ilmu akan lari bila tak diikat. Ikatlah dengan menuliskannya.” Begitu
nasehatnya.
“Hei, mau kemana kau?
Lekas sekali hendak pulang. Aku punya
kisah, dengarlah dulu.” Sergap Uwak Buddin, saat aku tergesa-gesa, tinggalkan
surau.
“Iya Uwak, besok ada
ujian di sekolah. Harus siapkan diri.”
“Kalau begitu, seperti
biasa, jangan lupa ini…” Uwak Buddin kembali menyodorkan selembar kertas lusuh.
Tiba-tiba kebingungan
membadai hati, “Apa ini Uwak? Bukannya hari ini tak ada kisah tercerita?”
“Kamu besok ujian kan?”
“Iya…”
“Ceritakan itu. Tentang
kegalauanmu. Kegundahanmu. Dan harapanmu.”
Aku hanya mengangguk, turuti
titah. Jangan bantah perintah. Ia bisa marah.
***
Purnama demi purnama
berlalu. Angin malam berhembus tak mau tahu. Menerpa rumah mungilku, berdinding
bambu, beratap dedaunan rumbia. Ada bunyi gemerisik, bertalu-talu. Bunyi
setumpuk kertas berliuk-liuk. Aku tatap lekat-lekat. Carik-carik kertas yang
kutusuk pada bambu kecil berujung runcing, setelah dengarkan tutur kisah Uwak
Buddin. Esok tak ada lagi kisah. Esok tak ada lagi perintah Uwak Buddin. Esok
habis sudah carik kertas untuk abadikan cerita. Tersebab, ini adalah malam
terakhirku di kampung. Bersama terbit mentari esok pagi, aku akan bertandang ke
kota. Genapkan cita-cita.
Gemerisik irama kertas,
terdengar indah, berharmoni dengan pungguk beruhu-uhu. Seperti sedang melagukan
salam perpisahan. Sembari membawa kenangan, mundur beberapa waktu silam. Saat
Aku datang keharibaan Uwak Buddin dengan mata agak sembab. Berusaha membendung
air mata. Karena baru saja dikatai laksana pungguk yang rindu rembulan. Saat
bermimpi, ingin jadi penulis tenar. Ya, seperti Andrea Hirata atau
Habiburahman.
“Ah, baru begitu sudah
sakit hati. Pakai menangis lagi.” Kata Uwak Buddin, mengejek. Tapi aku yakin ini
adalah kalimat penyemangat, dalam bahasa yang lain. “Baru dikata pungguk, sudah
merana. Bagaimana dengan Uwak yang dikira gila?”
“Ingat, engkau bukan punggung yang merindui
rembulan dan ia mustahil untuk menggapainya. Engkau adalah cicak…” Mata Uwak
Buddin menatapku erat. Sambil telunjuknya mengacung di depan hidung.
Aku cicak? Bukankah
pungguk lebih elok bila dibanding cicak? Pungguk bisa terbang. Cicak hanya
menempel bingung di dinding.
“Pandangilah cicak. Ia
tak pernah mengeluh berputus asa. Atau meminta sepasang sayap, agar bisa
mengejar nyamuk. Ia yakin Allah pasti punya rahasia. Pada cicak teranugrahkan
berkah. Ia punya lidah lincah. Sekali julur menembak, nyamuk pun terpikat.” Aku
mulai tenang mendengar Uwak Buddin berkelakar. Bahkan hampir tertawa. Saat
melihatnya menghidupkan ceritanya. Bertingkah seperti cicak yang sedang
membidik nyamuk. Menjulurkan lidah merahnya. Ini bukan tingkah orang gila. Atau
setengah gila. Ini adalah ikhtiar seorang penutur kisah. Agar pesan luhurnya
tersampaikan. Walau hanya untuk seorang. Aku.
***
Tak terasa, tahun sudah
beberapa kali berganti. Rindu akan kampung nan permai, telah merayapi hati. Apa
hendak dikata, niat pulang harus menepi. Hanya menunggu dan terus menunggu.
Yang jelas aku bukan pungguk yang menuggu rembulan. Namun cicak yang mengintai
mangsa. Ah, pesan Uwak Buddin masih berngiang-ngiang. Apakabar Uwak di sana?
Adakah hadai taulan yang temani sepi hari-harinya?
“Kring…kring…kring…”
suara gemericing bel sepeda, menggetarkan gendang telinga. Bersamanya, datang
sepucuk surat. Warnya kebiru-biruan. Elok rupa dengan sampul plastiknya. Ini telegram.
Di nama pengirim, tertera nama Ibu. Hati mulailah risau. Dapat surat singkat
serba cepat. Biasanya berisi warta yang mendesak. Terkadang pula berita duka
yang undang air mata untuk menitik.
Nak
segera plg kma ada hal penting ttk
Hah? Segera pulang?
Hati risau mendesau. Pasti ada apa-apa. Harus bergegas, agar tak ada penyesalan
di esok kelak.
Barang dikemas. Cepat
sekali tuntas. Disampirkan di lengan kanan atas. Seperti pendekar yang hendak
berkelana. Bayang-bayang kampung halaman telah menghampar jelas. Entah apa yang
telah terhelat di sana. Dirundung duka atau disemai bahagia. Aku ingin segera
tahu.
***
“Sabar, sabar. Tenang
saja. Tidak ada apa-apa.” Ibu hendak menenangkan raga yang bermetaran. Masih
penasaran dengan isi telegram.
“Kenapa aku dipanggil
mendadak pulang Bu?”
“Ini semua pinta
Abangmu. Bukan sekehendak hati ibu.”
“Abang? Abang siapa?”
“Itu Abang Sugi.”
Abang Sugi? Aha, Abang
Sugi putra kampung nan tersohor. Dengar-dengar telah menjadi hartawan.
Pengusaha sukses ibu kota.
“Apa gerangan yang membuatnya
mencariku?” Keningku berkerut.
“Kemarin, ia lihat
catatan-catatan lusuhmu. Rupanya terpesona ia dibuatnya. Katanya ingin ia
bukukan dan dicetak. Disebar di seluruh negeri.”
“Maksud Ibu kertas
lusuh, catatan tutur kisah Uwak Buddin itu?”
Ibu mengangguk. Matanya
berbinar-binar ceria. Ah, selangkah lagi. Selangkah lagi impian itu akan nyata.
Penulis tersohor. Ini mimpiku yang terucap di hadapan Uwak Buddin. Kali
terakhir membersamainya.
Aku gapai setumpuk kertas
lusuh. Sebenarnya berwarna putih. Hanya tersebab termakan usia, maka
kemuninglah ia. Tapi masih terekam jelas tutur hikmah, kisah rindu dan cerita
sendu Uwak Buddin di sana.
“Uwak…Uwak…” Aku
berteriak girang di depan pintu surau tua. “Mimpiku akan terwujud Uwak. Aku
buktikan, aku bukan pungguk. Aku sang cicak yang memikat mangsa.” Mana Si Uwak.
Biasanya sesore ini ia terbaring di depan mihrab masjid. Sambil
berpantun-pantun riang sendiri.
O..o…pasti Uwak sedang rehat
di serambi belakang. Angin menghembus cukup kencang. Siapapun pasti enggan
menantangnya. Aku tapaki surau hampa itu. Berjalan menuju serambi belakang.
Hembus angin semakin kencang. Menerbangkan sepucuk kertas lusuh dari genggaman.
Oh, jangan sampai hilang walau sepucuk. Tak lengkap nanti. Menyuruh Uwak Buddin
bercerita lagi, sungguhlah pelik. Kukejar sepucuk yang terbang itu. Bertaruh
tangkas dengan sang angin.
Masih padaku
keberuntungan itu berpihak. Untung ada kayu tertancap. Kertas lusuh itu hinggap
di sana. Cepat, sigap aku menggapainya. Takut bila ia terbang lagi. Hilanglah
kenangan-kenangan berhikmah nanti. Tapi tunggu dulu. Ini bukan tancapan kayu
biasa. Ini tancapan kayu yang disengaja. Ada nama yang terukir di atasnya.
Uwak
Burhanuddin
Wafat
10 Muharram 1432 H
Ha…10 Muharram?
Be…berarti tiga hari yang lalu. Mata mulai berair. Terasa sembab. Dan akhirnya
air mata leleh menderai. Sepucuk kertas putih itu masih menari-nari. Menempel
pada kayu tertancap, yang kini kusadari itu adalah nisan. Bergemetaran jemariku
menggapai kerta lusuh itu. Di sana tertulis sebait pantun, yang pernah terucap
oleh sang pemilik pusara;
Jika
layar telah tekembang
Pantang
biduk surut ke tepian
Kamu
ini laksana cicak nan garang
Bukan
punggung rindukan rembulan