Senin, 03 Desember 2012

Sentilah dari Film "Di Timur Matahari"


Beberapa masa lampau, Presiden SBY pernah mengklaim kalau pertumbuhan ekonomi naik. Artinya kehidupan bangsa membaik. Benarkah? Untuk sebagian tempat, mungkin iya. Buat beberapa level masyarakat, mungkin benar. Mereka merasakan perbaikan kehidupan. Tapi, sesekali coba buanglah pandangan ke pesisir timur nusantara. Pulau Papua. Pulau teramat kaya, berkolam minyak, bergunung emas. Namun masyarakatnya masih jauh dari sejahtera. Apalagi untuk masyarakat pedalaman. Masih banyak yang tak terjamah busana. Soal pendidikan, jangan tanya. Tertinggal sekali.
Bagi kita yang tak berkesempatan bertandang ke sana, ada cara lain untuk meyeksamai kondisi kehidupan pedalaman Papua. Sempatkanlah untuk menonton film produksi Alinea Productions. Besutan sutradara Ali Sihasale, Di Timur Matahari, judulnya. Film yang menampilkan kondisi rakyat pedalaman Papua senyatanya, apa adanya. Menontonnya kadang menghadirkan jenaka yang mengundang tawa. Tapi ada bagian yang kuasa mengalirkan air mata.
Mengambil lokasi Shotting di Tiom Kabupaten Lany Jaya. Salah satu daerah terpencil di pedalaman Papua. Film ini bercerita tentang persahabatan dan perjuangan Mazmur, Yongkie, Thomas, Agnes dan Suryani. Mereka berjuang untuk tetap bisa sekolah. Tiap pagi mereka menanti, di sekolah yang teramat sederhana. Hanya ada satu kelas saja. Terbuat dari susunan bilah papan. Tiap hari mereka dirundung rindu. Berharap-harap cemas, menanti guru pengganti. Setelah guru yang lama, memilih untuk pindah. Mungkin karena tak kuasa menghadapi ganasnya alam Tiom. Meninggalkan Mazmur dan kawan-kawannya begitu saja. Memang, butuh guru bermental baja dengan sejuta keikhlasan bila ingin mengajar di pedalaman Papua. Sayang, guru pengganti yang dinanti tak kunjung datang.
Mazmur, sang pemeran utama, sering tampil mengisi kehampaan hari-hari rekannya. Kadang mereka belajar bernyanyi bersama. Lagu “Di Sini Senang Di Sana Senang” juga “Hymne Guru” jadi favoritnya. Kalau jenuh dengan itu, ruang kelas disulap menjadi lapangan bola mini indoor. Kursi dan meja diatur menepi ke pinggir kelas. Lalu bertandinglah mereka. Mirip-mirip permainan fursal. Ramai sekali.
Alur kisah Di Timur Matahari, kian menegangkan. Ketika Blasius, ayahanda Mazmur dibunuh, oleh warga suku tetangga. Sudah menjadi adat masyarakat setempat, pembalasan harus setimpal. Mata dibayar mata. Gigi diganti gigi. Kalau tidak, pihak pembunuh harus membayar denda. Tidak tanggung-tanggung, denda adat yang diminta adalah dua ratus ekor babi. Ditambah uang, tiga milyar rupiah. Kalau denda adat tak mampu dipenuhi, maka perang antar suku adalah jawaban terakhir.
Nyaris perang suku terjadi, bila saja Michel tak datang membawa pencerahan. Michel adalah putra asli Papua yang bekerja di Jakarta. Menikah dengan gadis kota bernama Vina, yang diperankan Laura Basuki. Ia datang dengan pemikiran yang lebih maju dan luhur. Ia menentang semua adat primitif yang tak layak dilestarikan. Perang suku, salah satunya.
Selain itu dalam salah satu adegan, terlihat Michel menentang adat lain. Potong jari, yang kerap dilakukan oleh masyarakat pedalaman Papua. Setelah Ayah Mazmur meninggal, ibunya pergi potong jari. Dengan kapak batu, ia penggal beberapa jemarinya, sampai putus. Begitulah adat setempat, jika ada sanak saudara yang meninggal. Katanya agar turut merasakan sakit derita. Ini budaya, yang tak perlu dilestarikan. Justru harus disirnakan.
Di Timur Matahari, juga menggambarkan betapa sukarnya hidup di Tiom, pedalaman Papua. Dalam salah satu adegannya, saat Vina si gadis kota, membeli beras dan minyak.
“Minyak sepuluh liter, tiga ratus delapan puluh ribu. Dan beras dua karung satu juta delapan ratus.”
Vina terperanjat kaget, lalu berkata, “Mahal banget. Wajar saja kalau mereka (masyarakat Papua) minta merdeka.”
Ini mungkin adegan yang mengundang tawa juga decak kaget. Tapi sekaligus sentilan untuk kita, terutama pemerintah. Jangan sepenuhnya salahkan rakyat Papua. Ketika beberapa darinya meminta merdeka. Memisahkan diri dari Indonesia. Siapa yang tak marah, hidup bergelimangan kekayaan alam, tapi selalu saja tertinggal. Dianaktirikan oleh pemerintah sendiri. Harga kebutuhan pokok, selangit. Guru pengganti pun tak ada. Sebenarnya tuntutan rakyat Papua tak banyak. Mereka hanya ingin hidup layak. Juga pendiidikan yang memadai. Itu saja. Sederhana sekali.
Inilah kelebihan film Di Timur Matahari. Menampilkan suasana pedalaman Papua, apa adanya. Sehingga mampu mengundang rasa simpati kita, masih ada anak Indonesia seperti Mazmur. Hidup terbelakang, di daerah pedalaman. Tapi punya semangat yang luar biasa, untuk hidup dan mengecap pendidikan. Walaupun sampai di akhir cerita, guru pengganti tak juga datang-datang.
Juga mampu membuncahkan rasa kagum. Di Timur Matahari, menampilkan pemandangan alam Papua yang tiada dua. Ada padang rumput yang terhampar begitu luas. Laksana bentangan permadani hijau. Diselingi satu dua batu-batu besar. Tempat Mazmur dan Thomas, biasa melepaskan merpati jantan. Di biarkan terbang, untuk mencari sang betina. Ada juga gunung-gunung yang menjulang tinggi. Juga lembah-lembah yang ditumbuhi segala macam pepohonan.
Film ini sekalligus terasa semakin renyah, karena tingkah Ucok dan asistennya, ???. Ucok pemuda asal Sumatra Utara, yang bertugas sebagai kontraktor proyek di Tiom. Selalu saja mengeluh resah. Akibat tingkah masyarakat menuntut diberikan kerjaan. Takut terkena denda adat, bila salah bertingkah.
Di Timur Matahari, film yang menyentil. Jangan sampai bangsa ini terlena dengan kemajuan yang dijabarkan dalam data statistik. Disajikan hanya dalam angka-angka, yang sebenarnya mudah sekali dimanipulasi. Terjunlah di lapangan, lihatlah kondisi masyarakat langsung apa adanya. Masih banyak mereka yang butuh perhatian. Tonton dan renungkanlah. Bangsa ini masih perlu banyak berbenah.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More