Beberapa masa lampau, Presiden SBY pernah mengklaim
kalau pertumbuhan ekonomi naik. Artinya kehidupan bangsa membaik. Benarkah?
Untuk sebagian tempat, mungkin iya. Buat beberapa level masyarakat, mungkin
benar. Mereka merasakan perbaikan kehidupan. Tapi, sesekali coba buanglah
pandangan ke pesisir timur nusantara. Pulau Papua. Pulau teramat kaya, berkolam
minyak, bergunung emas. Namun masyarakatnya masih jauh dari sejahtera. Apalagi
untuk masyarakat pedalaman. Masih banyak yang tak terjamah busana. Soal
pendidikan, jangan tanya. Tertinggal sekali.
Bagi kita yang tak berkesempatan bertandang ke sana,
ada cara lain untuk meyeksamai kondisi kehidupan pedalaman Papua. Sempatkanlah
untuk menonton film produksi Alinea Productions. Besutan sutradara Ali Sihasale,
Di Timur Matahari, judulnya. Film yang menampilkan kondisi rakyat pedalaman
Papua senyatanya, apa adanya. Menontonnya kadang menghadirkan jenaka yang
mengundang tawa. Tapi ada bagian yang kuasa mengalirkan air mata.
Mengambil lokasi Shotting di Tiom Kabupaten Lany
Jaya. Salah satu daerah terpencil di pedalaman Papua. Film ini bercerita
tentang persahabatan dan perjuangan Mazmur, Yongkie, Thomas, Agnes dan Suryani.
Mereka berjuang untuk tetap bisa sekolah. Tiap pagi mereka menanti, di sekolah
yang teramat sederhana. Hanya ada satu kelas saja. Terbuat dari susunan bilah
papan. Tiap hari mereka dirundung rindu. Berharap-harap cemas, menanti guru
pengganti. Setelah guru yang lama, memilih untuk pindah. Mungkin karena tak
kuasa menghadapi ganasnya alam Tiom. Meninggalkan Mazmur dan kawan-kawannya
begitu saja. Memang, butuh guru bermental baja dengan sejuta keikhlasan bila
ingin mengajar di pedalaman Papua. Sayang, guru pengganti yang dinanti tak
kunjung datang.
Mazmur, sang pemeran utama, sering tampil mengisi
kehampaan hari-hari rekannya. Kadang mereka belajar bernyanyi bersama. Lagu “Di
Sini Senang Di Sana Senang” juga “Hymne Guru” jadi favoritnya. Kalau jenuh
dengan itu, ruang kelas disulap menjadi lapangan bola mini indoor. Kursi dan
meja diatur menepi ke pinggir kelas. Lalu bertandinglah mereka. Mirip-mirip
permainan fursal. Ramai sekali.
Alur kisah Di Timur Matahari, kian menegangkan.
Ketika Blasius, ayahanda Mazmur dibunuh, oleh warga suku tetangga. Sudah
menjadi adat masyarakat setempat, pembalasan harus setimpal. Mata dibayar mata.
Gigi diganti gigi. Kalau tidak, pihak pembunuh harus membayar denda. Tidak
tanggung-tanggung, denda adat yang diminta adalah dua ratus ekor babi. Ditambah
uang, tiga milyar rupiah. Kalau denda adat tak mampu dipenuhi, maka perang
antar suku adalah jawaban terakhir.
Nyaris perang suku terjadi, bila saja Michel tak
datang membawa pencerahan. Michel adalah putra asli Papua yang bekerja di
Jakarta. Menikah dengan gadis kota bernama Vina, yang diperankan Laura Basuki. Ia
datang dengan pemikiran yang lebih maju dan luhur. Ia menentang semua adat
primitif yang tak layak dilestarikan. Perang suku, salah satunya.
Selain itu dalam salah satu adegan, terlihat Michel
menentang adat lain. Potong jari, yang kerap dilakukan oleh masyarakat
pedalaman Papua. Setelah Ayah Mazmur meninggal, ibunya pergi potong jari.
Dengan kapak batu, ia penggal beberapa jemarinya, sampai putus. Begitulah adat
setempat, jika ada sanak saudara yang meninggal. Katanya agar turut merasakan
sakit derita. Ini budaya, yang tak perlu dilestarikan. Justru harus disirnakan.
Di Timur Matahari, juga menggambarkan betapa sukarnya
hidup di Tiom, pedalaman Papua. Dalam salah satu adegannya, saat Vina si gadis
kota, membeli beras dan minyak.
“Minyak sepuluh
liter, tiga ratus delapan puluh ribu. Dan beras dua karung satu juta delapan
ratus.”
Vina terperanjat kaget, lalu berkata, “Mahal banget.
Wajar saja kalau mereka (masyarakat Papua) minta merdeka.”
Ini mungkin adegan yang mengundang tawa juga decak
kaget. Tapi sekaligus sentilan untuk kita, terutama pemerintah. Jangan
sepenuhnya salahkan rakyat Papua. Ketika beberapa darinya meminta merdeka.
Memisahkan diri dari Indonesia. Siapa yang tak marah, hidup bergelimangan
kekayaan alam, tapi selalu saja tertinggal. Dianaktirikan oleh pemerintah
sendiri. Harga kebutuhan pokok, selangit. Guru pengganti pun tak ada. Sebenarnya
tuntutan rakyat Papua tak banyak. Mereka hanya ingin hidup layak. Juga
pendiidikan yang memadai. Itu saja. Sederhana sekali.
Inilah kelebihan film Di Timur Matahari. Menampilkan
suasana pedalaman Papua, apa adanya. Sehingga mampu mengundang rasa simpati
kita, masih ada anak Indonesia seperti Mazmur. Hidup terbelakang, di daerah
pedalaman. Tapi punya semangat yang luar biasa, untuk hidup dan mengecap
pendidikan. Walaupun sampai di akhir cerita, guru pengganti tak juga
datang-datang.
Juga mampu membuncahkan rasa kagum. Di Timur
Matahari, menampilkan pemandangan alam Papua yang tiada dua. Ada padang rumput
yang terhampar begitu luas. Laksana bentangan permadani hijau. Diselingi satu
dua batu-batu besar. Tempat Mazmur dan Thomas, biasa melepaskan merpati jantan.
Di biarkan terbang, untuk mencari sang betina. Ada juga gunung-gunung yang
menjulang tinggi. Juga lembah-lembah yang ditumbuhi segala macam pepohonan.
Film ini sekalligus terasa semakin renyah, karena
tingkah Ucok dan asistennya, ???. Ucok pemuda asal Sumatra Utara, yang bertugas
sebagai kontraktor proyek di Tiom. Selalu saja mengeluh resah. Akibat tingkah
masyarakat menuntut diberikan kerjaan. Takut terkena denda adat, bila salah
bertingkah.
Di Timur Matahari, film yang menyentil. Jangan sampai
bangsa ini terlena dengan kemajuan yang dijabarkan dalam data statistik.
Disajikan hanya dalam angka-angka, yang sebenarnya mudah sekali dimanipulasi.
Terjunlah di lapangan, lihatlah kondisi masyarakat langsung apa adanya. Masih
banyak mereka yang butuh perhatian. Tonton dan renungkanlah. Bangsa ini masih
perlu banyak berbenah.
0 komentar:
Posting Komentar