Senin, 03 Desember 2012

Aku Sang Cicak bukan Si Pungguk (Dimuat di Harian Radar Bogor)


“Tak perihkah hati dikatai gila, tak sempurna waras?” Aku bertanya pada pria paruh baya. Rambut dan jenggotnya memutih. Matanya juga mulai rabun. Apalagi di lensanya ada keruh putih mengendap. Pasti katarak. Ia lelaki hebat. Selalu menyambut mentari dengan senyuman. Lalu mengiringinnya membenam pun bersama senyum. Selalu terlihat riang susuri hari. Mungkin itulah sebab, banyak penduduk kampung berprasangka ia tak begitu waras. Uwak Stegi, Uwak setengah gila, ia sering dicandai. Padahal namanya indah, Burhanuddin. Padanya kusapa Uwak Buddin. Tak tega rasanya memanggilnya Uwak Stegi. Ah, itu penghinaan.
“Ha…ha…” Uwak Budin tertawa, “Tak perlulah risau. Biasa manusia, kerap kali salah menilai, tempatnya keliru dan khilaf sering mampir.”
Padanya aku bersimpatik. Riang selalu hatinya. Usaha sambung nyawanya, hanya sebagai penggembala sewaan. Atau petani bayaran. Itu pun jika ada yang memberi kerjaan. Upahnya tak banyak. Cukup buat makan, sudahlah senang.
Menatap hidupnya, kadang air mata berlinang. Seperti orang terbuang. Tak lebih sehitungan jemari tangan, orang berperhatian padanya. Padahal jasanya untuk kampung sungguh menggunung. Pandangi surau di pinggir kampung. Tak mungkin bergemuruh adzan darinya, lima kali sehari, jika tak ada Uwak Buddin. Ia pelantun adzan. Meski nafasnya putus-putus. Tengoklah kanak-kanak desa. Tak mampu mengaji mereka, jika Uwak Buddin, tak mengajari selepas magrib.
Setiap hari, lepas sekolah, kusempatkan bersembahyang di surau. Selalu ada Uwak Buddin menunggu. Duduk termangu, membisu. Tak ingin sendiri bersembahyang. Rugi, pahalanya kecil.
Aku sering membersamai dalam jeda waktunya. Kerap kali ia bercerita, tentang kisah hikmah. Ada kisah tentang Nabi yang selalu dirundung duka. Karena sabar, deritanya pun berakhir dan terbitlah bahagia. Ya, Aku ingat, itu kisah tentang Nabi Ayub. Ada juga kisah manusia maha durhaka. Berani-berani menobatkan diri sebagai tuhan. Ini pasti kisah Fir’aun. Sedap sekali bila Uwak Buddin bertutur kisah. Ada kebiasaan yang tak pernah terlupa oleh Uwak Buddin. Bila usai bercerita, tersodorkan secarik kertas lusuh. Ia pinta aku untuk menulis apa yang telah ia kisahkan. “Ilmu akan lari bila tak diikat. Ikatlah dengan menuliskannya.” Begitu nasehatnya.
“Hei, mau kemana kau? Lekas sekali hendak  pulang. Aku punya kisah, dengarlah dulu.” Sergap Uwak Buddin, saat aku tergesa-gesa, tinggalkan surau.
“Iya Uwak, besok ada ujian di sekolah. Harus siapkan diri.”
“Kalau begitu, seperti biasa, jangan lupa ini…” Uwak Buddin kembali menyodorkan selembar kertas lusuh.
Tiba-tiba kebingungan membadai hati, “Apa ini Uwak? Bukannya hari ini tak ada kisah tercerita?”
“Kamu besok ujian kan?”
“Iya…”
“Ceritakan itu. Tentang kegalauanmu. Kegundahanmu. Dan harapanmu.”
Aku hanya mengangguk, turuti titah. Jangan bantah perintah. Ia bisa marah.
***
Purnama demi purnama berlalu. Angin malam berhembus tak mau tahu. Menerpa rumah mungilku, berdinding bambu, beratap dedaunan rumbia. Ada bunyi gemerisik, bertalu-talu. Bunyi setumpuk kertas berliuk-liuk. Aku tatap lekat-lekat. Carik-carik kertas yang kutusuk pada bambu kecil berujung runcing, setelah dengarkan tutur kisah Uwak Buddin. Esok tak ada lagi kisah. Esok tak ada lagi perintah Uwak Buddin. Esok habis sudah carik kertas untuk abadikan cerita. Tersebab, ini adalah malam terakhirku di kampung. Bersama terbit mentari esok pagi, aku akan bertandang ke kota. Genapkan cita-cita.
Gemerisik irama kertas, terdengar indah, berharmoni dengan pungguk beruhu-uhu. Seperti sedang melagukan salam perpisahan. Sembari membawa kenangan, mundur beberapa waktu silam. Saat Aku datang keharibaan Uwak Buddin dengan mata agak sembab. Berusaha membendung air mata. Karena baru saja dikatai laksana pungguk yang rindu rembulan. Saat bermimpi, ingin jadi penulis tenar. Ya, seperti Andrea Hirata atau Habiburahman.
“Ah, baru begitu sudah sakit hati. Pakai menangis lagi.” Kata Uwak Buddin, mengejek. Tapi aku yakin ini adalah kalimat penyemangat, dalam bahasa yang lain. “Baru dikata pungguk, sudah merana. Bagaimana dengan Uwak yang dikira gila?”
 “Ingat, engkau bukan punggung yang merindui rembulan dan ia mustahil untuk menggapainya. Engkau adalah cicak…” Mata Uwak Buddin menatapku erat. Sambil telunjuknya mengacung di depan hidung.
Aku cicak? Bukankah pungguk lebih elok bila dibanding cicak? Pungguk bisa terbang. Cicak hanya menempel bingung di dinding.
“Pandangilah cicak. Ia tak pernah mengeluh berputus asa. Atau meminta sepasang sayap, agar bisa mengejar nyamuk. Ia yakin Allah pasti punya rahasia. Pada cicak teranugrahkan berkah. Ia punya lidah lincah. Sekali julur menembak, nyamuk pun terpikat.” Aku mulai tenang mendengar Uwak Buddin berkelakar. Bahkan hampir tertawa. Saat melihatnya menghidupkan ceritanya. Bertingkah seperti cicak yang sedang membidik nyamuk. Menjulurkan lidah merahnya. Ini bukan tingkah orang gila. Atau setengah gila. Ini adalah ikhtiar seorang penutur kisah. Agar pesan luhurnya tersampaikan. Walau hanya untuk seorang. Aku.
***
Tak terasa, tahun sudah beberapa kali berganti. Rindu akan kampung nan permai, telah merayapi hati. Apa hendak dikata, niat pulang harus menepi. Hanya menunggu dan terus menunggu. Yang jelas aku bukan pungguk yang menuggu rembulan. Namun cicak yang mengintai mangsa. Ah, pesan Uwak Buddin masih berngiang-ngiang. Apakabar Uwak di sana? Adakah hadai taulan yang temani sepi hari-harinya?
“Kring…kring…kring…” suara gemericing bel sepeda, menggetarkan gendang telinga. Bersamanya, datang sepucuk surat. Warnya kebiru-biruan. Elok rupa dengan sampul plastiknya. Ini telegram. Di nama pengirim, tertera nama Ibu. Hati mulailah risau. Dapat surat singkat serba cepat. Biasanya berisi warta yang mendesak. Terkadang pula berita duka yang undang air mata untuk menitik.
Nak segera plg kma ada hal penting ttk
Hah? Segera pulang? Hati risau mendesau. Pasti ada apa-apa. Harus bergegas, agar tak ada penyesalan di esok kelak.
Barang dikemas. Cepat sekali tuntas. Disampirkan di lengan kanan atas. Seperti pendekar yang hendak berkelana. Bayang-bayang kampung halaman telah menghampar jelas. Entah apa yang telah terhelat di sana. Dirundung duka atau disemai bahagia. Aku ingin segera tahu.
***
“Sabar, sabar. Tenang saja. Tidak ada apa-apa.” Ibu hendak menenangkan raga yang bermetaran. Masih penasaran dengan isi telegram.
“Kenapa aku dipanggil mendadak pulang Bu?”
“Ini semua pinta Abangmu. Bukan sekehendak hati ibu.”
“Abang? Abang siapa?”
“Itu Abang Sugi.”
Abang Sugi? Aha, Abang Sugi putra kampung nan tersohor. Dengar-dengar telah menjadi hartawan. Pengusaha sukses ibu kota.
“Apa gerangan yang membuatnya mencariku?” Keningku berkerut.
“Kemarin, ia lihat catatan-catatan lusuhmu. Rupanya terpesona ia dibuatnya. Katanya ingin ia bukukan dan dicetak. Disebar di seluruh negeri.”
“Maksud Ibu kertas lusuh, catatan tutur kisah Uwak Buddin itu?”
Ibu mengangguk. Matanya berbinar-binar ceria. Ah, selangkah lagi. Selangkah lagi impian itu akan nyata. Penulis tersohor. Ini mimpiku yang terucap di hadapan Uwak Buddin. Kali terakhir membersamainya.
Aku gapai setumpuk kertas lusuh. Sebenarnya berwarna putih. Hanya tersebab termakan usia, maka kemuninglah ia. Tapi masih terekam jelas tutur hikmah, kisah rindu dan cerita sendu Uwak Buddin di sana.
“Uwak…Uwak…” Aku berteriak girang di depan pintu surau tua. “Mimpiku akan terwujud Uwak. Aku buktikan, aku bukan pungguk. Aku sang cicak yang memikat mangsa.” Mana Si Uwak. Biasanya sesore ini ia terbaring di depan mihrab masjid. Sambil berpantun-pantun riang sendiri.
O..o…pasti Uwak sedang rehat di serambi belakang. Angin menghembus cukup kencang. Siapapun pasti enggan menantangnya. Aku tapaki surau hampa itu. Berjalan menuju serambi belakang. Hembus angin semakin kencang. Menerbangkan sepucuk kertas lusuh dari genggaman. Oh, jangan sampai hilang walau sepucuk. Tak lengkap nanti. Menyuruh Uwak Buddin bercerita lagi, sungguhlah pelik. Kukejar sepucuk yang terbang itu. Bertaruh tangkas dengan sang angin.
Masih padaku keberuntungan itu berpihak. Untung ada kayu tertancap. Kertas lusuh itu hinggap di sana. Cepat, sigap aku menggapainya. Takut bila ia terbang lagi. Hilanglah kenangan-kenangan berhikmah nanti. Tapi tunggu dulu. Ini bukan tancapan kayu biasa. Ini tancapan kayu yang disengaja. Ada nama yang terukir di atasnya.
Uwak Burhanuddin
Wafat 10 Muharram 1432 H
Ha…10 Muharram? Be…berarti tiga hari yang lalu. Mata mulai berair. Terasa sembab. Dan akhirnya air mata leleh menderai. Sepucuk kertas putih itu masih menari-nari. Menempel pada kayu tertancap, yang kini kusadari itu adalah nisan. Bergemetaran jemariku menggapai kerta lusuh itu. Di sana tertulis sebait pantun, yang pernah terucap oleh sang pemilik pusara;
Jika layar telah tekembang
Pantang biduk surut ke tepian
Kamu ini laksana cicak nan garang
Bukan punggung rindukan rembulan

1 komentar:

salam kenal... cerpennya bagus... kalau boleh tahu, alamat email pengiriman ke radar bogor apa ya? terima kasih :)

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More