Ini ada cerita haru yang mungkin juga terselipi lucu.
Asal kisahnya dari tanah tertimur Nusantara, Papua. Di suatu lembah, yang
dikelilingi Pegunungan Jayawijaya nun tinggi menjulang dan melingkar, serupa
cincin raksasa. Bila tak gerimis, paginya sering terselimuti embun halus. Sang
surya seolah tak kuasa menyinarkan kehangatannya. Kalah bersaing dengan
dinginnya tetasan embun. Lembah Baliem nama tempat itu. Untuk yang baru pertama
kali memijakinya, bersiaplah raga menggigil kedinginan. Sampai ada yang enggan
mandi tiga hari.
Namun tak begitu dengan segerombolan anak sekolah.
Riang sekali jiwanya, berseri-seri wajahnya. Berseragam putih biru. Ini
pertanda kuat, mereka murid sekolah menengah pertama. Dari segerombolan itu,
ada yang paling riang. Ia berlari berjingkat-jingkat. Sesekali melompat, seperti
ada yang ingin ia hindari. Benar saja, teman-temannya yang lain sementara mengusilinya.
Merayakan ritual peresmian sepatu baru. Ya, ini ritual wajib, bila ada siswa
bersepatu baru. Sepatunya akan diinjak sejadi-jadinya. Empunya sepatu, pasti
sibuk menghindar diri. Siapa sih yang
rela, sepatu baru sehari dipakai, mulus dan bersih lagi, harus dinjak-injak.
Panggil saja dia Albert Haluk, siswa paling periang yang bersepatu baru itu.
Sejak tadi sibuk melompat, seperti menari-nari. Menghindari injakan, ke kiri ke
kanan.
Sebenarnya ada sedih membentur dinding hati. Ketika
melihat keseharian Albert Haluk. Apalagi sebelum ia memiliki sepatu baru. Tampilannya
sungguh sederhana. Berseragam kemeja putih yang mulai lusuh lagi menguning.
Sebab termakan usia. Kancing atas kemejanya lepas. Membuat leher hitammnya yang
kerempeng, mudah terlihat. Mengkilap bila terterpa cahaya dan terlumuri
keringat. Arahkan pandangan ke arah kakinya. Ada sepasang sepatu yang jahitannya
mulai lepas satu-satu. Ujung depan sepatunya mulai menganga. Kata anak Lemba
Baliem, sepatunya sudah “minta makan.”
Cukup lebar ngangaan itu. Membuat jempol kakinya, menyembul keluar. Syukurlah,
kini semua tinggal kenangan. Karena sudah ada sepatu baru yang menggantikannya.
Ritual peresmian sepatu baru, hanya heboh sehari
saja. Keesokan harinya semua berjalan seperti biasa. Seolah tak ada apa-apa.
Akan tetapi hari itu ada perkara aneh. Albert datang bertelanjang kaki. Terlihat
betul kaki kekarnya yang lebar. Kakinya orang gunung memang begitu, besar dan
lebar. Sepatu ukuran 44 pun terkadang masih terasa sempit. Ujung jari jemarinya
merenggang, serupa kipas kain yang dikembangkan. Aneh juga melihat tingkahnya
hari ini. Apakah sepatunya sudah rusak,karena ritual peresmian kemarin? Ah
mudah-mudahan tidak. Karena bila itu terjadi, akulah orang yang merasa paling
bersalah. Kemarin aku injak dia dengan sekuat tenaga. Membuat wajahnya meringis
menahan sakit.
“Mana sepatu barunya? Rusak?”
“Ada. Sepatu baru baik-baik saja.” Albert menjawab
dengan wajah sumringah. Padahal aku tahu, ia baru saja menempuh jalan yang
cukup panjang. Menembus belantara dengan semak-semak tajam. Bila menggores kaki
tentu perih rasanya. Aku pun tahu, dengan kaki telanjangnya itu ia tapaki jalan
kerikul berbatu. Bila tak hati-hati, tentu akan mengiris kaki.
Pelan-pelan Albert membuka tas ransel, yang
reslitingnya mulai rusak. Jelas sekali ada serbuk-serbuk lilin di sepanjang
resliting tasnya. Begitulah cara kami memperbaiki resliting tas yang mulai
rusak. Mengolesinya dengan batangan lilin. Dan memang berhasil. Resliting
kembali merekat kuat.
Albert menarik sepasang benda, yang ternyata itu
adalah sepatu barunya. Ia kibas-kibaskan kaos kaki tua, ujungnya mulai ada
cela. Beberapa minggu lagi pasti akan membentuk lubang.
“Mengapa tak dipakai sepatunya?” tanyaku, selidik
ingin tahu.
Albert mengulum senyum, sembari dengan entengnya ia
berkata, “Kamu tahu kan, jarak
rumahku ke sekolah sangatlah jauh. Jalan yang dilalui pun sangat menantang. Ada
rindang semak belukar, jalan tak beraspal yang berkerikil tajam. Tambah lagi
harus menyeberangi sungai tak berjembatan, yang air kini meluap. Bila sepatu
ini aku pakai, bisa tak panjang umurnya. Cepat rusak. Sementara bila harus
membeli lagi, darimana uangku dapat? Orang tuaku hanya petani hipere (sejenis ubi jalar yang berasa
manis. Makanan pokok penduduk Lembah Baliem).
Hati terenyuh mendengar alasan itu.
“Aku melakukan ini semua, karena aku punya impian
besar.” Albert kembali berkata-kata tanpa ditanya. Kerlingan matanya
berbinar-binar. Menunjukkan ada cita-cita raksasa yang bersemayam dalam
hatinya.
“Impian apa itu?”
“Aku ingin menjadi pengusaha.” Kalimatnya terhenti.
Matanya menerawang ke langit-langit kelas. Seolah dia telah menatap jelas, ada
impiannya tergantung di sana. “Kelak aku akan menjadi pengusaha pemilik pabrik
sepatu. Akan aku buat sepatu ukuran besar, agar anak Lembah Baliem tak sulit
mencari sepatu. Mungkin ukuran 45 dan 46. Dan tentunya kuat. Tahan disegala
medan.”
Sebagai sahabat yang baik, aku hanya berucap, “Amin.”
Semoga kelak, impian itu segera menjadi nyata.